Senin, 31 Desember 2012

Perayaan Tahun Baru dan Serangan Hadlarah Asing


Hingar bingar penyambutan tahun baru 2013 semakin memuncak, tak terkecuali di Indonesia yang mayoritas penduduknya muslim.  Pergantian tahun pada kalender Masehi itu hampir selalu menjadi rutinitas perayaan yang tidak boleh terlewatkan oleh semua kalangan umur.  Libur panjang yang beriringan dengan Natal bahkan bertepatan dengan liburan sekolah menambah riuh orang-orang yang berkeinginan melalui pergantian tahun itu dengan berbagai kegiatan spesial.  Mereka umumnya beralasan bahwa pergantian tahun adalah kesempatan yang hanya datang setahun sekali, maka apa salahnya jika dirayakan atau diisi dengan kegembiraan melebihi hari-hari biasanya.
Bagi muslim, merayakan tahun baru Masehi sebenarnya merupakan aktivitas terlarang.  Sebab, perayaan tahun baru merupakan bentuk kebudayaan (hadlarah) dari luar Islam. Tahun baru pertama kali dirayakan pada tanggal 1 Januari 45 SM. Pada mulanya perayaan ini dirayakan oleh orang Yahudi yang dihitung sejak bulan baru pada akhir September. Selanjutnya menurut kalender Julianus, tahun Romawi dimulai pada tanggal 1 Januari. Kalender Julian ini kemudian digunakan secara resmi di seluruh Eropa hingga tahun 1582 M ketika muncul Kalender Gregorian.
Januari dijadikan sebagai awal tahun karena diambil dari nama dewa Romawi “Janus” yaitu dewa bermuka dua ini, satu muka menghadap ke depan dan yang satu lagi menghadap ke belakang. Dewa Janus adalah dewa penjaga gerbang Olympus. Sehingga diartikan sebagai gerbang menuju tahun yang baru.
Tradisi perayaan tahun baru di beberapa negara terkait dengan ritual keagamaan atau kepercayaan mereka—yang tentu saja sangat bertentangan dengan Islam.  Salah satu contohnya di Brazil.  Pada tengah malam setiap tanggal 1 Januari, orang-orang Brazil berbondong-bondong menuju pantai dengan pakaian putih bersih.  Mereka menaburkan bunga di laut, mengubur mangga, pepaya dan semangka di pasir pantai sebagai tanda penghormatan terhadap sang dewa Lemanja—Dewa laut yang terkenal dalam legenda negara Brazil.
Begitulah, tahun baru di beberapa tempat dalam perjalanannya identik dengan kebudayaan yang berkaitan dengan akidah (keyakinan) tertentu.  Bahkan kini -di Barat khususnya- tahun baru identik dengan budaya hura-hura dan seks bebas.  Semua bentuk perayaan tersebut jelas-jelas merupakan tindakan penyimpangan terhadap akidah dan syariah yang diturunkan Allah SWT.  Perayaan tahun baru adalah budaya yang dimiliki oleh kaum di luar Islam.
Namun mengapa saat ini kaum muslim latah ikut-ikutan merayakan, atau membesarkannya meski dengan sekedar ucapan selamat tahun baru, atau bersuka ria memadati tempat-tempat hiburan khususnya pada malam pergantian tahun.
Kaum muslim memang menggunakan kalender Masehi yang notabene menjadi patokan penanggalan internasional.  Namun bukan berarti kaum muslim layak membesarkan atau merayakan pergantian tahun.  Sebab, merayakan hari pergantian tahun (tanggal 1 Januari) sudah identik dengan budaya tertentu.  Identitas ini tidak bisa hilang hanya karena kaum muslim menggunakan kalender tersebut.  Sebab, bagi muslim pergantian tahun tidak bernilai apa-apa selain bergantinya waktu (dari tanggal 31 Desember menjadi 1 Januari).  Syara’ tidak memandang adanya keutamaan pada tanggal tersebut.  Maka, mengapa mereka menganggap bahwa kehadiran 1 Januari adalah masa spesial yang menuntut perayaan.
Sesunguhnya, yang terjadi adalah infiltrasi budaya kufur di tengah-tengah kaum muslim.  Dan kini, sebagian besar muslim telah benar-benar terseret dalam budaya kufur tersebut.  Mereka tidak merasa bahwa perayaan tahun baru adalah hadlarah (budaya) asing.  Bahkan mereka menganggapnya sebagai sebuah kewajaran.
Sebagian lagi beranggapan bolehnya merayakan tahun baru asal tidak melakukan perbuatan terlarang, seperti seks bebas, pesta miras, ugal-ugalan di jalan dan sejenisnya.  Pandangan seperti ini tentu saja keliru.  Inilah bentuk keberhasilan musuh-musuh Islam dalam menggiring kaum muslim agar terjatuh dalam budaya asing.  Mereka berhasil menggeser makna perayaan tahun baru yang sebenarnya sudah identik dengan budaya tertentu, dengan ajakan halus bernuansa kemanusiaan.  Tanggal 1 Januari berhasil dipaksakan sebagai hari raya internasional.
Padahal, sebuah hadlarah -yang terikat dengan pandangan atau akidah tertentu- selamanya akan mengikat bagi pemeluknya.  Demikian pula dengan perayaan 1 Januari, ia tetap lekat dengan budaya kaum merayakan di awal kelahirannya.  Oleh karena itu, kaum muslim yang merayakan tahun baru meski dengan aktivitas yang mubah hakikatnya telah terperangkap pada hadlarah asing.
Sesungguhnya Syariah Islam tidak mengajarkan perayaan selain pada dua hari raya, yaitu hari raya Idul Fitri dan Idul Adha.  Rasulullah Saw bersabda :
“Sesungguhnya setiap kaum mempunyai hari raya, dan ini (Idul Adhha dan Idul Fitri) adalah hari raya kita” (HR. Bukhari dan Muslim dari Aisyah r.a.).
Dalam hadist lain, dari Anas bin Malik ra. beliau berkata : Rasulullah Saw. tiba di Madinah dan mereka memiliki dua hari yang mereka bermain-main di dalamnya. Lantas beliau bertanya, ”Dua hari apa ini?”  Mereka menjawab, ”Hari dahulu kami bermain-main di masa jahiliyah.” Rasulullah Saw. bersabda :
”Sesungguhnya Allah telah menggantikan kedua hari itu dengan dua hari yang lebih baik bagi kalian, yaitu hari idul adhha dan idul fithri.” [Shahih riwayat Imam Ahmad, Abu Dawud, an-Nasaî dan al-Hakim.]
Dengan demikian tanggal 1 Januari tidak layak mendapatkan pengagungan, apalagi perayaan, meski hanya dengan ucapan selamat.  Sebab, semua aktivitas tersebut adalah bentuk kegembiraan atas momentum tertentu yang tidak disyariatkan.  Terlebih, tanggal 1 Januari sudah identik dengan budaya di luar Islam.
Rasulullah Saw. juga pernah bersabda : ”Barangsiapa menyerupai suatu kaum maka ia termasuk golongan mereka.” (HR. Abu Dawud).  Hadits ini sekaligus memperingatkan agar kaum muslim menjauhkan diri dari kebiasaan kaum di laum Islam.
Dengan demikian, perayaan, kegembiraan, ucapan selamat dan sejenisnya yang dilakukan semata-mata karena hadirnya 1 januari adalah bentuk pengekoran terhadap budaya di luar Islam.  Kaum muslim haram melakukannya.  Apa yang terjadi saat ini menjadi bukti kebenaran sabda Rasulullah Saw.  Dari Abu Hurairah r.a , Rasulullah saw bersabda:
 “Hari kiamat tak bakal terjadi hingga umatku meniru generasi-generasi sebelumnya, sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta.” Ditanyakan, “Wahai Rasulullah, seperti Persi dan Romawi?” Nabi menjawab: “Manusia mana lagi selain mereka itu?” (HR. Bukhari no. 7319)
Semoga kita senantiasa diberi kekuatan untuk memerangi budaya kufur dan berjuang menegakkan khilafah Islamiyyah yang akan membentengi umat dari semua bentuk serangan budaya kufur.  Aamiin. [] Noor Afeefa

Tidak ada komentar:

Posting Komentar