Sabtu, 19 Mei 2012

Hukum Multi Akad


MULTI AKAD
(AQAD MURAKKAB)

PENGERTIAN MULTI AKAD
Istilah Multi Akad adalah terjemahan bahasa Indonesia dari istilah-istilah aslinya dlm bahasa Arab, yaitu :
(1) al ‘uqud al murakkabah
(2) al ‘uqud al maliyah al murakkabah
(3) al jam’u bayna al ‘uqud
(4) damju  al ‘uqud
(1) Istilah al ‘uqud al murakkabah, digunakan oleh Nazih Hammad (Al-’Uqud Al-Murakkabah fi al-Fiqh al-Islami, hal. 7)
(2) Istilah al ‘uqud al maliyah al murakkabah, digunakan oleh Abdullah al-’Imrani (Al-Uqud al-Maliyah al-Murakkabah, hal. 46).
(3) Istilah al jam’u bayna al ‘uqud digunakan oleh AAOIFI (Al Maa’yir Al Syar’iyyah / Shariah Standards, edisi 2010, hlm. 347).
(4) Istilah damju  al ‘uqud digunakan oleh Ismail Syandi (Al Musyarakah Al Mutanaqishah, hlm. 17-18).
Istilah Multi Akad menurut penggagasnya adalah kesepakatan dua pihak untuk melaksanakan suatu muamalah yang meliputi dua akad atau lebih, misalnya akad jual-beli dengan ijarah, akad jual beli dengan hibah dst, sedemikian sehingga semua akibat hukum dari akad-akad gabungan itu, serta semua hak dan kewajiban yang ditimbulkannya, dianggap satu kesatuan yang tak dapat dipisah-pisahkan, yang sama kedudukannya dengan akibat-akibat hukum dari satu akad.
(Lihat : Nazih Hammad, Al-’Uqud Al-Murakkabah fi al-Fiqh al-Islami, hal. 7; Abdullah al-’Imrani, Al-Uqud al-Maliyah al-Murakkabah, hal. 46).

CONTOH APLIKATIF MULTI AKAD
Aplikasinya dalam bank syariah misalnya akad Murabahah lil Aamir bi asy-Syira` (Murabahah KPP [Kepada Pemesan Pembelian]/Deferred Payment Sale).
Akad ini melibatkan tiga pihak, yaitu pembeli, lembaga keuangan, dan penjual.
Prosesnya :
 (1) pembeli (nasabah) memohon lembaga keuangan membeli barang, mis sepeda motor
(2) lalu lembaga keuangan membeli barang dari penjual (dealer motor) secara kontan,
(3) lalu lembaga keuangan menjual lagi barang itu kepada pembeli dengan harga lebih tinggi, baik secara kontan, angsuran, atau bertempo.
(Syafi’i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktek, hal.107; Ayid Sya’rawi, Al-Masharif al-Islamiyah, hal. 412).
Catatan :
Akad ini tidak sama persis dengan akad Murabahah yang asli, yaitu jual beli pada harga modal (pokok) dengan tambahan keuntungan yang diketahui dan disepakati oleh penjual dan pembeli.
Jadi dalam Murabahah asli hanya ada 2 pihak, sedang Murabahah di bank syariah ada 3 pihak.
(Shalah Ash-Shawi & Abdullah Mushlih, Maa Laa Yasa'u At-Tajiru Jahlahu, hal. 77; Abdur Rouf Hamzah, Al-Bai' fi Al-Fiqh Al-Islami, hal. 15; Ayid Sya’rawi, Al-Masharif al-Islamiyah, hal. 399 dst).
                          
HUKUM MULTI AKAD
Terdapat khilafiyah (perbeda pendapat) di kalangan ulama mengenai boleh tidaknya multi akad.
(1) Pendapat pertama, membolehkan.
Pendapat Imam Asy-hab (mazhab Maliki) (Hithab, Tahrirul Kalam fi Masail Al Iltizam, hlm. 353).
Pendapat Ibnu Taimiyah (mazhab Hambali) (Ibnu Taimiyah, Majmu’ul Fatawa, 29/132).
Pendapat At Tasuli, dalam Al Bahjah, 2/14).
1. Dalil pendapat pertama, antara lain kaidah fiqih :

الأصل في المعاملات الإباحة إلا أن يدل دليل على تحريمها
Hukum asal muamalah adalah boleh, kecuali ada dalil yang menunjukkan keharamannya.”
Berdasarkan kaidah ini, penggabungan dua akad atau lebih dibolehkan karena tidak dalil yang melarangnya.
(2) Pendapat kedua, mengharamkannya. Ini pendapat jumhur (mayoritas) ulama.
Pendapat para ulama mazhab Hanafi (lihat Imam Al Marghinani, Al Hidayah, 3/53)
Satu versi pendapat (riwayat) dari mazhab Maliki (Hithab, Tahrirul Kalam fi Masail Al Iltizam, hlm. 353).
Satu versi pendapat (riwayat) dari dua pendapat para ulama mazhab Hambali (Ibnu Muflih, Al-Mubdi’, 5/54).

Dalil pendapat kedua : hadis-hadis yang melarang dua syarat/akad.
(1) Hadis Hakim bin Hizam RA, dia berkata :
نهاني رسول الله -صلى الله عليه وسلم - عن أربع خصال في البيع : عن سلف وبيع، وشرطين في بيع، وبيع ما ليس عندك، وربح ما لم تضمن
Nabi SAW telah melarangku dari empat macam jual beli, yaitu (1) menggabungkan salaf dan jual beli, (2) dua syarat dalam satu jual beli, (3) menjual apa yang tidak ada di sisimu, (4) mengambil laba dari apa yang kamu tak menjamin [kerugiannya]” (HR Thabrani)
(2) Hadis  bahwa Nabi SAW :
نهى عن بيعتين في بيعة
Nabi SAW telah melarang adanya dua jual beli dalam satu jual beli.” (HR Tirmidzi, hadis sahih)
(3) Hadis  bahwa Nabi SAW bersabda :
لا يحل سلف وبيع، ولا شرطان في بيع
Tidak halal menggabungkan salaf dan jual beli, juga tak halal adanya dua syarat dalam satu jual beli.” (HR Abu Dawud, hadis hasan sahih)
(4) Hadis  Ibnu Mas’ud RA bahwa :
نهى عن صفقتين في صفقة واحدة
Nabi SAW telah melarang dua kesepakatan [akad] dalam satu kesepakatan [akad].” (HR Ahmad, hadis sahih)
Hadis-hadis di atas telah melarang penggabungan (ijtima’)  lebih dari satu akad ke dalam satu akad.
(Lihat  : Ismail Syandi, Musyarakah Mutanaqishah, hlm. 19; Taqiyuddin Nabhani, Syakhshiyah Islamiyah, 2/308).
                                                              
T A R J I H
Dari dua pendapat di atas, pendapat yang kuat (rajih) adalah pendapat kedua, yaitu yang mengharamkan multi akad.
Alasan pentarjihan :
Pertama, dalil-dalil hadis yang ada dengan jelas telah melarang penggabungan dua akad atau lebih ke dalam satu akad.
Di antaranya adalah hadis Ibnu Mas’ud RA :
نهى عن صفقتين في صفقة واحدة
Nabi SAW telah melarang dua kesepakatan [akad] dalam satu kesepakatan [akad].” (HR Ahmad, hadis sahih)
Imam Taqiyuddin An Nabhani, menjelaskan bahwa dua kesepakatan dalam satu kesepakatan (shafqataini fi shafqah wahidah) dalam hadis itu, artinya adalah adanya dua akad dalam satu akad. Misal menggabungkan dua akad jual beli menjadi satu akad, atau akad jual beli digabung dengan akad ijarah. (al-Syakhshiyah al-Islamiyah, II/308).
Kedua, kaidah fiqih yang dipakai pendapat yang mengharamkan, yaitu al-ashlu fi al-muamalat al-ibahah tidak tepat.
                                                              
Karena ditinjau dari asal usul kaidah itu, kaidah fiqih tersebut sebenarnya cabang dari (atau lahir dari) kaidah fiqih lain yaitu :

                                                                الأصل في الأشياء الإباحة ما لم يرد دليل التحريم
                                                              
“Hukum asal segala sesuatu adalah boleh selama tak ada dalil yang mengharamkan.”
Padahal kaidah fiqih tersebut (al-ashlu fi al-asy-ya` al-ibahah), hanya berlaku untuk benda (materi), tidak dapat diberlakukan pada muamalah (sebab muamalah bukan benda, melainkan aktivitas manusia).
                                                              
Mengapa dikatakan bahwa kaidah tersebut hanya berlaku untuk benda?

Sebab nash-nash yang mendasari kaidah al-ashlu fi al-asy-ya` al-ibahah (misal QS Al-Baqarah:29) berbicara tentang hukum benda (materi), bukan tentang mu’amalah.
Ketiga, kaidah fiqih al ashlu fil muamalat al ibahah juga bertentangan dengan nash syara’ sehingga tidak boleh diamalkan.

Nash syara’ yang dimaksud adalah hadits-hadis Nabi SAW yg menunjukkan bahwa para sahabat selalu bertanya lebih dahulu kepada Rasulullah SAW dalam muamalah mereka.
                                                              
Andaikata hukum asal muamalah itu boleh, tentu para shahabat akan lagsung beramal, dan TAK PERLU bertanya kepada Rasulullah SAW.
Sebagai contoh, perhatikan hadits yg menunjukkan sahabat bertanya kepada Rasulullah SAW dalam masalah muamalah sbb :

عن حكيم بن حزام رضي الله عنه أنه قال قلت يا رسول الله إني أشتري بيوعاً فما يحل لي منها وما يحرم عَلي قال : فإذا اشتريت بيعاً فلا تبعه حتى تقبضه

Dari Hakim bin Hizam RA, dia berkata,”Aku bertanya,’Wahai Rasulullah SAW, sesungguhnya aku banyak melakukan jual beli, apa yang halal bagiku dan yang haram bagiku?’ Rasulullah SAW menjawab,’Jika kamu membeli suatu barang, jangan kamu menjualnya lagi hingga kamu menerima barang itu.” (HR Ahmad).

KESIMPULAN
(1) Multi akad merupakan masalah khilafiyah. Ada sebagian ulama membolehkannya, sedang jumhur (mayoritas) ulama mengharamkannya.     
(2) Pendapat yang rajih (kuat) adalah pendapat jumhur ulama yang mengharamkan multi akad.

Wallahu a’lam.

1 komentar: