Selasa, 26 Juni 2012

Penentuan Idul Adha Wajib Mengikuti Rukyatul Hilal Penguasa Makkah



Para ulama mujtahidin telah berbeda pendapat dalam hal mengamalkan satu ru’yat yang sama untuk Idul Fitri. Madzhab Syafi’i menganut ru’yat lokal, yaitu mereka mengamalkan ru’yat masing-masing negeri. Sementara madzhab Hanafi, Maliki, dan Hanbali menganut ru’yat global, yakni mengamalkan ru’yat yang sama untuk seluruh kaum muslimin. Artinya, jika ru’yat telah terjadi di suatu bumi, maka ru’yat itu berlaku untuk seluruh kaum muslimin sedunia, meskipun mereka sendiri tidak dapat meru’yat hilal.

Namun khilafiyah semacam itu tidak ada dalam penentuan Idul Adha. Sesungguhnya ulama seluruh madzhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali) telah sepakat mengamalkan ru’yat yang sama untuk Idul Adha. Ru’yat yang dimaksud, adalah ru’yatul hilal (pengamatan bulan sabit) untuk menetapkan awal bulan Dzulhijjah, yang dilakukan oleh penguasa Makkah (Wali Makkah). Ru’yat ini berlaku untuk seluruh dunia.

Oleh sebab itu, kaum muslimin dalam sejarahnya senantiasa beridul Adha pada hari yang sama. Fakta ini diriwayatkan secara mutawatir (oleh orang banyak yang mustahil sepakat bohong) bahkan sejak masa kenabian, dilanjutkan pada masa Khulafa’ Rasyidin, Umawiyin, Abbasiyin, Utsmaniyin, hingga masa kita sekarang.

Namun meskipun penetapan Idul Adha ini sudah ma’luumun minad diini bidl dlaruurah (telah diketahui secara pasti sebagai bagian integral ajaran Islam), anehnya pemerintah Indonesia karena mengikuti fatwa sebagian ulama telah berani membolehkan perbedaan Idul Adha di Indonesia. Jadilah Indonesia sebagai salah satu negara di muka bumi yang tidak mengikuti Hijaz dalam beridul Adha. Sebab Idul Adha di Indonesia seringkali jatuh pada hari pertama dari Hari Tasyriq (tanggal 11 Dzulhijjah), dan bukannya pada yaumun-nahr atau hari penyembelihan kurban (tanggal 10 Dzulhijjah).

Kewajiban kaum muslimin untuk beridul Adha (dan beridul Fitri) pada hari yang sama, telah ditunjukkan oleh banyak nash-nash syara’. Di antaranya adalah sebagai berikut :

(1) Hadits A’isyah RA, dia berkata "Rasulullah SAW telah bersabda :

"Idul Fitri adalah hari orang-orang (kaum muslimin) berpuasa. Dan Idul Adha adalah hari orang-orang menyembelih kurban." (al-fithru yauma yufthiru al-naasu wa al-adh-ha yauma yudhahhi al-naasu) HR. At-Tirmidzi dan dinilainya sebagai hadits shahih; Lihat Imam Syaukani, Nailul Authar, [Beirut : Dar Ibn Hazm, 2000], hal. 697, hadits no 1305).

Imam At-Tirmidzi meriwayatkan hadits yang serupa dari shahabat Abu Hurairah RA dengan lafal :

"Bulan Puasa adalah bulan mereka (kaum muslimin) berpuasa. Idul Fitri adalah hari mereka berbuka. Idul Adha adalah hari mereka menyembelih kurban."(ash-shaumu yauma tashuumuun wa al-fithru yauma tuftiruuna wa al-adh-ha yauma tudhahhuun) Lihat Imam Syaukani, Nailul Authar, [Beirut : Dar Ibn Hazm, 2000], hal. 697, hadits no 1306)

Imam At-Tirmidzi berkata, "Sebagian ahlul ‘ilmi (ulama) menafsirkan hadits ini dengan menyatakan :

"Sesungguhnya makna shaum dan Idul Fitri ini adalah yang dilakukan bersama jama’ah [masyarakat muslim di bawah pimpinan Khalifah/Imam] dan sebahagian besar orang."(innama ma’na haadza ash-shaum wa al-fithr ma’a al-jamaah wa ‘azhiim al-naas) (Lihat Imam Syaukani, Nailul Authar, [Beirut : Dar Ibn Hazm, 2000], hal. 699)

Sementara itu Imam Badrudin Al-‘Aini dalam kitabnya Umdatul Qari berkata:

"Orang-orang (kaum muslimin) senantiasa wajib mengikuti Imam (Khalifah). Jika Imam berpuasa, mereka wajib berpuasa. Jika Imam berbuka (beridul Fitri), mereka wajib pula berbuka."

Hadits di atas secara jelas menunjukkan kewajiban berpuasa Ramadhan, beridul Fitri, dan beridul Adha bersama-sama orang banyak (lafal hadits : an-naas), yaitu maksudnya bersama kaum muslimin pada umumnya di dunia, baik tatkala mereka hidup bersatu dalam sebuah negara Khilafah seperti dulu, maupun tatkala hidup bercerai-cerai dalam penjara negara-kebangsaan (nation state) seperti saat ini setelah tahun 1924 Khilafah di Turki dihancurkan oleh Mustafa Kamal yang murtad.

Maka dari itu, seorang muslim tidak dibenarkan berpuasa sendirian, atau berbuka sendirian (beridul Fitri dan beridul Adha sendirian). Yang benar, dia harus berpuasa, berbuka dan berhari raya bersama-sama kaum muslimin pada umumnya di dunia.

(2) Hadits Husain Ibn Al-Harits Al-Jadali RA, dia berkata : "Sesungguhnya Amir (Wali) Makkah pernah berkhutbah dan berkata :

"Rasulullah SAW mengamanatkan kepada kami untuk melaksanakan manasik haji berdasarkan ru’yat. Jika kami tidak berhasil meru’yat tetapi ada dua saksi adil yang berhasil meru’yat, maka kami melaksanakan manasik haji berdasarkan kesaksian keduanya." (‘ahida ilaynaa rasulullah SAW an nansuka li al-ru`yah fa-in lam narahu wa syahida syaahidaa ‘adlin nasaknaa bi-syahaadatihimaa) (HR Abu Dawud [hadits no 2338] dan Ad-Daruquthni [Juz II/167]. Imam Ad-Daruquthni berkata,’Hadits ini isnadnya bersambung [muttashil] dan shahih.’ Lihat Imam Syaukani, Nailul Authar, [Beirut : Dar Ibn Hazm, 2000], hal. 841, hadits no 1629)

Hadits ini dengan jelas menunjukkan bahwa penentuan hari Arafah dan hari-hari pelaksanaan manasik haji, telah dilaksanakan pada saat adanya Daulah Islamiyah oleh pihak Wali Makkah (penguasa Makkah). Hal ini berlandaskan perintah Nabi SAW kepada Amir (Wali) Makkah untuk menetapkan hari dimulainya manasik haji berdasarkan ru’yat.

Di samping itu, Rasulullah SAW juga telah menetapkan bahwa pelaksanaan manasik haji (seperti wukuf di Arafah, thawaf ifadlah, bermalam di Muzdalifah, melempar jumrah) harus ditetapkan berdasarkan ru’yat penduduk Makkah sendiri, bukan berdasarkan ru’yat penduduk Madinah, penduduk Najd, atau penduduk negeri-negeri Islam lainnya. Dalam kondisi tiadanya Daulah Islamiyah (Khilafah), penentuan waktu manasik haji tetap menjadi kewenangan pihak yang memerintah Hijaz dari kalangan kaum muslimin, meskipun kekuasaannya sendiri tidak sah menurut syara’. Dalam keadaan demikian, kaum muslimin seluruhnya di dunia wajib beridul Adha pada yaumun nahr (hari penyembelihan kurban), yaitu tatkala para jamaah haji di Makkah sedang menyembelih kurban mereka pada tanggal 10 Dzulhijjah. Dan bukan keesokan harinya (hari pertama dari Hari Tasyriq) seperti di Indonesia.

(3) Hadits Abu Hurairah RA, dia berkata :

"Sesungguhnya Rasulullah SAW telah melarang puasa pada Hari Arafah, di Arafah" (nahaa rasulullah SAW ‘an shaumi ‘arafata bi-‘arafaat) (HR. Abu Dawud, An Nasa’i dan Ibnu Khuzaimah dalam Shahihnya, Lihat Imam Syaukani, Nailul Authar, [Beirut : Dar Ibn Hazm, 2000], hal. 875, hadits no 1709).

Berdasarkan hadits itu, Imam Asy-Syafi’i berkata :

"Disunnahkan berpuasa pada Hari Arafah (tanggal 9 Dhulhijjah) bagi mereka yang bukan jamaah haji."

Hadits di atas merupakan dalil yang jelas dan terang mengenai kewajiban penyatuan Idul Adha pada hari yang sama secara wajib ‘ain atas seluruh kaum muslimin. Sebab, jika disyari’atkan puasa bagi selain jamaah haji pada Hari Arafah (yakni hari tatkala jamaah haji wukuf di Padang Arafah), maka artinya, Hari Arafah itu satu adanya, tidak lebih dari satu dan tidak boleh lebih dari satu.

Karena itu, atas dasar apa kaum muslimin di Indonesia justru berpuasa Arafah justru pada hari penyembelihan kurban di Makkah (10 Dzulhijjah), yang sebenarnya adalah hari raya Idul Adha bagi mereka? Dan bukankah berpuasa pada hari raya adalah perbuatan yang haram? Lalu atas dasar apa pula mereka Sholat Idul Adha di luar waktunya dan malahan sholat Idul Adha pada tanggal 11 Dzulhijjah (hari pertama dari Hari Tasyriq)?

Sungguh, fenomena di Indonesia ini adalah sebuah bid’ah yang munkar (bid’ah munkarah), yang tidak boleh didiamkan oleh seorang muslim yang masih punya rasa takut kepada Allah Azza wa Jalla dan azab-Nya!

Sebahagian orang membolehkan perbedaan Idul Adha dengan berlandaskan hadits :

"Berpuasalah kalian karena telah meru’yat hilal (mengamati adanya bulan sabit), dan berbukalah kalian (beridul Fitri) karena telah meru’yat hilal. Dan jika terhalang pandangan kalian, maka perkirakanlah !"

Beristidlal (menggunakan dalil) dengan hadits ini untuk membolehkan perbedaan hari raya (termasuk Idul Adha) di antara negeri-negeri Islam dan untuk membolehkan pengamalan ilmu hisab, adalah istidlal yang keliru. Kekeliruannya dapat ditinjau dari beberapa segi :

Pertama, Hadits tersebut tidak menyinggung Idul Adha dan tidak menyebut-nyebut perihal Idul Adha, baik langsung maupun tidak langsung. Hadits itu hanya menyinggung Idul Fitri, bukan Idul Adha. Maka dari itu, tidaklah tepat beristidlal dengan hadits tersebut untuk membolehkan perbedaan Idul Adha berdasarkan perbedaan manzilah (orbit/tempat peredaran) bulan dan perbedaan mathla’ (tempat/waktu terbit) hilal, di antara negeri-negeri Islam. Selain itu, mathla’ hilal itu sendiri faktanya tidaklah berbeda-beda. Sebab bulan lahir di langit pada satu titik waktu yang sama. Dan waktu kelahiran bulan ini berlaku untuk bumi seluruhnya. Yang berbeda-beda sebenarnya hanyalah waktu pengamatan hilal dari berbagai permukaan bumi yag berbeda-beda. Ini pun hanya terjadi pada jangka waktu yang masih terhitung pada hari yang sama, yang lamanya tidak lebih dari 12 jam.

Kedua, hadits tersebut telah menetapkan awal puasa Ramadhan dan Idul Fitri berdasarkan ru’yatul hilal, bukan berdasarkan ilmu hisab. Pada hadits tersebut tak terdapat sedikit pun "dalalah" (pemahaman) yang membolehkan pengamalan ilmu hisab untuk menetapkan awal bulan Ramadlan dan hari raya Idul Fitri. Sedangkan hadits Nabi yang berbunyi : "(……jika pandangan kalian terhalang), maka perkirakanlah hilal itu !" maksudnya bukanlah perkiraan berdasarkan ilmu hisab, melainkan dengan menyempurnakan bilangan Sya’ban dan Ramadhan sejumlah 30 hari, bila kesulitan melakukan ru’yat.

Ketiga, Andaikata kita terima bahwa hadits tersebut juga berlaku untuk Idul Adha dengan jalan Qiyas –padahal Qiyas tidak boleh ada dalam perkara ibadah, karena ibadah bersifat tauqifiyah (diterima apa adanya)-- maka hadits tersebut justru akan bertentangan dengan hadits Husain Ibn Al-Harits Al-Jadali RA, yang bersifat khusus untuk Idul Adha dan manasik haji. Dalam hadits tersebut, Nabi SAW telah memberikan kewenangan kepada Amir (Wali) Makkah untuk menetapkan ru’yat bagi bulan Dzulhijjah dan untuk menetapkan waktu manasik haji berdasarkan ru’yat penguasa Makkah (bukan ru’yat kaum muslimin yang lain di berbagai negeri Islam).

Berdasarkan uraian ini, maka Indonesia tidak boleh berbeda dari negeri-negeri Islam lainnya dalam hal penentuan hari-hari raya Islam. Indonesia tidak boleh menentang ijma’ (kesepakatan) kaum muslimin di seantero pelosok dunia, karena mereka menganggap bahwa tanggal 10 Dzulhijjah ditetapkan berdasarkan ru’yat penduduk Hijaz.

Lagi pula, atas dasar apa Indonesia berani menentang ijma’ tersebut dan berupaya memecah belah persatuan dan kesatuan kaum muslimin seluruh dunia? Apakah Indonesia berambisi untuk menjadi negara yang mempelopori suatu tradisi yang buruk (sunnah sayyi’ah) sehingga para umaro’ dan ulama di Indonesia akan turut memikul dosa mereka sendiri dan juga dosa dari orang-orang yang mengamalkan bid'ah munkaroh ini hingga Hari Kiamat nanti?

Kita percaya sepenuhnya, perbedaan hari raya di Dunia Islam saat ini terjadi karena adanya perbedaan pemerintahan di Dunia Islam, yang terpecah belah dan terkotak-kotak dalam 50-an lebih negara kebangsaan yang direkayasa dan dipaksakan oleh kaum penjajah yang kafir.

Kita percaya pula sepenuhnya, bahwa kekompakan, persatuan, dan kesatuan Dunia Islam tak akan tewujud, kecuali di bawah naungan Khilafah Islamiyah Rasyidah. Khilafah inilah yang akan mempersatukan kaum muslimin di seluruh dunia serta akan memimpin kaum muslimin untuk menjalani kehidupan bernegara dan bermasyarakat berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya. Insya Allah cita-cita ini dapat terwujud tidak lama lagi !

Ya Allah, kami sudah menyampaikan, saksikanlah !
Oleh : Muhammad Shiddiq Al-Jawi*
*Lajnah Tsaqofiyah DPD I HTI Propinsi DIY; dosen STEI Hamfara Yogyakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar