Para ulama
mujtahidin telah berbeda pendapat dalam hal mengamalkan satu ru’yat yang sama
untuk Idul Fitri. Madzhab Syafi’i menganut ru’yat lokal, yaitu mereka
mengamalkan ru’yat masing-masing negeri. Sementara madzhab Hanafi, Maliki,
dan Hanbali menganut ru’yat global, yakni mengamalkan ru’yat yang sama
untuk seluruh kaum muslimin. Artinya, jika ru’yat telah terjadi di suatu
bumi, maka ru’yat itu berlaku untuk seluruh kaum muslimin sedunia, meskipun
mereka sendiri tidak dapat meru’yat hilal.
Namun
khilafiyah semacam itu tidak ada dalam penentuan Idul Adha. Sesungguhnya ulama
seluruh madzhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali) telah sepakat
mengamalkan ru’yat yang sama untuk Idul Adha. Ru’yat yang dimaksud, adalah
ru’yatul hilal (pengamatan bulan sabit) untuk menetapkan awal bulan
Dzulhijjah, yang dilakukan oleh penguasa Makkah (Wali Makkah). Ru’yat ini
berlaku untuk seluruh dunia.
Oleh sebab itu,
kaum muslimin dalam sejarahnya senantiasa beridul Adha pada hari yang sama.
Fakta ini diriwayatkan secara mutawatir (oleh orang banyak yang mustahil
sepakat bohong) bahkan sejak masa kenabian, dilanjutkan pada masa Khulafa’
Rasyidin, Umawiyin, Abbasiyin, Utsmaniyin, hingga masa kita sekarang.
Namun meskipun
penetapan Idul Adha ini sudah ma’luumun minad diini bidl dlaruurah (telah
diketahui secara pasti sebagai bagian integral ajaran Islam), anehnya
pemerintah Indonesia karena mengikuti fatwa sebagian ulama telah berani
membolehkan perbedaan Idul Adha di Indonesia. Jadilah Indonesia sebagai salah
satu negara di muka bumi yang tidak mengikuti Hijaz dalam beridul Adha. Sebab
Idul Adha di Indonesia seringkali jatuh pada hari pertama dari Hari Tasyriq
(tanggal 11 Dzulhijjah), dan bukannya pada yaumun-nahr atau hari penyembelihan
kurban (tanggal 10 Dzulhijjah).
Kewajiban kaum
muslimin untuk beridul Adha (dan beridul Fitri) pada hari yang sama, telah
ditunjukkan oleh banyak nash-nash syara’. Di antaranya adalah sebagai berikut
:
(1) Hadits
A’isyah RA, dia berkata "Rasulullah SAW telah bersabda :
"Idul
Fitri adalah hari orang-orang (kaum muslimin) berpuasa. Dan Idul Adha adalah
hari orang-orang menyembelih kurban." (al-fithru yauma yufthiru al-naasu
wa al-adh-ha yauma yudhahhi al-naasu) HR. At-Tirmidzi dan dinilainya sebagai
hadits shahih; Lihat Imam Syaukani, Nailul Authar, [Beirut : Dar Ibn Hazm,
2000], hal. 697, hadits no 1305).
Imam
At-Tirmidzi meriwayatkan hadits yang serupa dari shahabat Abu Hurairah RA
dengan lafal :
"Bulan
Puasa adalah bulan mereka (kaum muslimin) berpuasa. Idul Fitri adalah hari
mereka berbuka. Idul Adha adalah hari mereka menyembelih
kurban."(ash-shaumu yauma tashuumuun wa al-fithru yauma tuftiruuna wa
al-adh-ha yauma tudhahhuun) Lihat Imam Syaukani, Nailul Authar, [Beirut : Dar
Ibn Hazm, 2000], hal. 697, hadits no 1306)
Imam
At-Tirmidzi berkata, "Sebagian ahlul ‘ilmi (ulama) menafsirkan hadits
ini dengan menyatakan :
"Sesungguhnya
makna shaum dan Idul Fitri ini adalah yang dilakukan bersama jama’ah
[masyarakat muslim di bawah pimpinan Khalifah/Imam] dan sebahagian besar
orang."(innama ma’na haadza ash-shaum wa al-fithr ma’a al-jamaah wa
‘azhiim al-naas) (Lihat Imam Syaukani, Nailul Authar, [Beirut : Dar Ibn Hazm,
2000], hal. 699)
Sementara itu
Imam Badrudin Al-‘Aini dalam kitabnya Umdatul Qari berkata:
"Orang-orang
(kaum muslimin) senantiasa wajib mengikuti Imam (Khalifah). Jika Imam berpuasa,
mereka wajib berpuasa. Jika Imam berbuka (beridul Fitri), mereka wajib pula
berbuka."
Hadits di atas
secara jelas menunjukkan kewajiban berpuasa Ramadhan, beridul Fitri, dan
beridul Adha bersama-sama orang banyak (lafal hadits : an-naas), yaitu
maksudnya bersama kaum muslimin pada umumnya di dunia, baik tatkala mereka
hidup bersatu dalam sebuah negara Khilafah seperti dulu, maupun tatkala hidup
bercerai-cerai dalam penjara negara-kebangsaan (nation state) seperti saat ini
setelah tahun 1924 Khilafah di Turki dihancurkan oleh Mustafa Kamal yang
murtad.
Maka dari itu,
seorang muslim tidak dibenarkan berpuasa sendirian, atau berbuka sendirian
(beridul Fitri dan beridul Adha sendirian). Yang benar, dia harus berpuasa,
berbuka dan berhari raya bersama-sama kaum muslimin pada umumnya di dunia.
(2) Hadits
Husain Ibn Al-Harits Al-Jadali RA, dia berkata : "Sesungguhnya Amir (Wali)
Makkah pernah berkhutbah dan berkata :
"Rasulullah
SAW mengamanatkan kepada kami untuk melaksanakan manasik haji berdasarkan
ru’yat. Jika kami tidak berhasil meru’yat tetapi ada dua saksi adil yang
berhasil meru’yat, maka kami melaksanakan manasik haji berdasarkan kesaksian
keduanya." (‘ahida ilaynaa rasulullah SAW an nansuka li al-ru`yah fa-in
lam narahu wa syahida syaahidaa ‘adlin nasaknaa bi-syahaadatihimaa) (HR Abu
Dawud [hadits no 2338] dan Ad-Daruquthni [Juz II/167]. Imam Ad-Daruquthni
berkata,’Hadits ini isnadnya bersambung [muttashil] dan shahih.’ Lihat Imam
Syaukani, Nailul Authar, [Beirut : Dar Ibn Hazm, 2000], hal. 841, hadits no
1629)
Hadits ini dengan
jelas menunjukkan bahwa penentuan hari Arafah dan hari-hari pelaksanaan manasik
haji, telah dilaksanakan pada saat adanya Daulah Islamiyah oleh pihak Wali
Makkah (penguasa Makkah). Hal ini berlandaskan perintah Nabi SAW kepada Amir
(Wali) Makkah untuk menetapkan hari dimulainya manasik haji berdasarkan
ru’yat.
Di samping itu,
Rasulullah SAW juga telah menetapkan bahwa pelaksanaan manasik haji (seperti
wukuf di Arafah, thawaf ifadlah, bermalam di Muzdalifah, melempar jumrah) harus
ditetapkan berdasarkan ru’yat penduduk Makkah sendiri, bukan berdasarkan
ru’yat penduduk Madinah, penduduk Najd, atau penduduk negeri-negeri Islam
lainnya. Dalam kondisi tiadanya Daulah Islamiyah (Khilafah), penentuan waktu
manasik haji tetap menjadi kewenangan pihak yang memerintah Hijaz dari kalangan
kaum muslimin, meskipun kekuasaannya sendiri tidak sah menurut syara’. Dalam
keadaan demikian, kaum muslimin seluruhnya di dunia wajib beridul Adha pada
yaumun nahr (hari penyembelihan kurban), yaitu tatkala para jamaah haji di
Makkah sedang menyembelih kurban mereka pada tanggal 10 Dzulhijjah. Dan bukan
keesokan harinya (hari pertama dari Hari Tasyriq) seperti di Indonesia.
(3) Hadits Abu
Hurairah RA, dia berkata :
"Sesungguhnya
Rasulullah SAW telah melarang puasa pada Hari Arafah, di Arafah" (nahaa
rasulullah SAW ‘an shaumi ‘arafata bi-‘arafaat) (HR. Abu Dawud, An
Nasa’i dan Ibnu Khuzaimah dalam Shahihnya, Lihat Imam Syaukani, Nailul
Authar, [Beirut : Dar Ibn Hazm, 2000], hal. 875, hadits no 1709).
Berdasarkan
hadits itu, Imam Asy-Syafi’i berkata :
"Disunnahkan
berpuasa pada Hari Arafah (tanggal 9 Dhulhijjah) bagi mereka yang bukan jamaah
haji."
Hadits di atas
merupakan dalil yang jelas dan terang mengenai kewajiban penyatuan Idul Adha
pada hari yang sama secara wajib ‘ain atas seluruh kaum muslimin. Sebab, jika
disyari’atkan puasa bagi selain jamaah haji pada Hari Arafah (yakni hari
tatkala jamaah haji wukuf di Padang Arafah), maka artinya, Hari Arafah itu satu
adanya, tidak lebih dari satu dan tidak boleh lebih dari satu.
Karena itu,
atas dasar apa kaum muslimin di Indonesia justru berpuasa Arafah justru pada
hari penyembelihan kurban di Makkah (10 Dzulhijjah), yang sebenarnya adalah
hari raya Idul Adha bagi mereka? Dan bukankah berpuasa pada hari raya adalah
perbuatan yang haram? Lalu atas dasar apa pula mereka Sholat Idul Adha di luar
waktunya dan malahan sholat Idul Adha pada tanggal 11 Dzulhijjah (hari pertama
dari Hari Tasyriq)?
Sungguh,
fenomena di Indonesia ini adalah sebuah bid’ah yang munkar (bid’ah
munkarah), yang tidak boleh didiamkan oleh seorang muslim yang masih punya rasa
takut kepada Allah Azza wa Jalla dan azab-Nya!
Sebahagian
orang membolehkan perbedaan Idul Adha dengan berlandaskan hadits :
"Berpuasalah
kalian karena telah meru’yat hilal (mengamati adanya bulan sabit), dan
berbukalah kalian (beridul Fitri) karena telah meru’yat hilal. Dan jika
terhalang pandangan kalian, maka perkirakanlah !"
Beristidlal
(menggunakan dalil) dengan hadits ini untuk membolehkan perbedaan hari raya
(termasuk Idul Adha) di antara negeri-negeri Islam dan untuk membolehkan
pengamalan ilmu hisab, adalah istidlal yang keliru. Kekeliruannya dapat
ditinjau dari beberapa segi :
Pertama, Hadits
tersebut tidak menyinggung Idul Adha dan tidak menyebut-nyebut perihal Idul
Adha, baik langsung maupun tidak langsung. Hadits itu hanya menyinggung Idul
Fitri, bukan Idul Adha. Maka dari itu, tidaklah tepat beristidlal dengan hadits
tersebut untuk membolehkan perbedaan Idul Adha berdasarkan perbedaan manzilah
(orbit/tempat peredaran) bulan dan perbedaan mathla’ (tempat/waktu terbit)
hilal, di antara negeri-negeri Islam. Selain itu, mathla’ hilal itu sendiri
faktanya tidaklah berbeda-beda. Sebab bulan lahir di langit pada satu titik
waktu yang sama. Dan waktu kelahiran bulan ini berlaku untuk bumi seluruhnya.
Yang berbeda-beda sebenarnya hanyalah waktu pengamatan hilal dari berbagai
permukaan bumi yag berbeda-beda. Ini pun hanya terjadi pada jangka waktu yang
masih terhitung pada hari yang sama, yang lamanya tidak lebih dari 12 jam.
Kedua, hadits
tersebut telah menetapkan awal puasa Ramadhan dan Idul Fitri berdasarkan
ru’yatul hilal, bukan berdasarkan ilmu hisab. Pada hadits tersebut tak
terdapat sedikit pun "dalalah" (pemahaman) yang membolehkan
pengamalan ilmu hisab untuk menetapkan awal bulan Ramadlan dan hari raya Idul
Fitri. Sedangkan hadits Nabi yang berbunyi : "(……jika pandangan kalian
terhalang), maka perkirakanlah hilal itu !" maksudnya bukanlah perkiraan
berdasarkan ilmu hisab, melainkan dengan menyempurnakan bilangan Sya’ban dan
Ramadhan sejumlah 30 hari, bila kesulitan melakukan ru’yat.
Ketiga,
Andaikata kita terima bahwa hadits tersebut juga berlaku untuk Idul Adha dengan
jalan Qiyas –padahal Qiyas tidak boleh ada dalam perkara ibadah, karena
ibadah bersifat tauqifiyah (diterima apa adanya)-- maka hadits tersebut justru
akan bertentangan dengan hadits Husain Ibn Al-Harits Al-Jadali RA, yang
bersifat khusus untuk Idul Adha dan manasik haji. Dalam hadits tersebut, Nabi
SAW telah memberikan kewenangan kepada Amir (Wali) Makkah untuk menetapkan
ru’yat bagi bulan Dzulhijjah dan untuk menetapkan waktu manasik haji
berdasarkan ru’yat penguasa Makkah (bukan ru’yat kaum muslimin yang lain di
berbagai negeri Islam).
Berdasarkan
uraian ini, maka Indonesia tidak boleh berbeda dari negeri-negeri Islam lainnya
dalam hal penentuan hari-hari raya Islam. Indonesia tidak boleh menentang
ijma’ (kesepakatan) kaum muslimin di seantero pelosok dunia, karena mereka
menganggap bahwa tanggal 10 Dzulhijjah ditetapkan berdasarkan ru’yat penduduk
Hijaz.
Lagi pula, atas
dasar apa Indonesia berani menentang ijma’ tersebut dan berupaya memecah
belah persatuan dan kesatuan kaum muslimin seluruh dunia? Apakah Indonesia
berambisi untuk menjadi negara yang mempelopori suatu tradisi yang buruk
(sunnah sayyi’ah) sehingga para umaro’ dan ulama di Indonesia akan turut
memikul dosa mereka sendiri dan juga dosa dari orang-orang yang mengamalkan
bid'ah munkaroh ini hingga Hari Kiamat nanti?
Kita percaya
sepenuhnya, perbedaan hari raya di Dunia Islam saat ini terjadi karena adanya
perbedaan pemerintahan di Dunia Islam, yang terpecah belah dan terkotak-kotak
dalam 50-an lebih negara kebangsaan yang direkayasa dan dipaksakan oleh kaum
penjajah yang kafir.
Kita percaya
pula sepenuhnya, bahwa kekompakan, persatuan, dan kesatuan Dunia Islam tak akan
tewujud, kecuali di bawah naungan Khilafah Islamiyah Rasyidah. Khilafah inilah
yang akan mempersatukan kaum muslimin di seluruh dunia serta akan memimpin kaum
muslimin untuk menjalani kehidupan bernegara dan bermasyarakat berdasarkan
Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya. Insya Allah cita-cita ini dapat terwujud tidak
lama lagi !
Ya Allah, kami
sudah menyampaikan, saksikanlah !
Oleh : Muhammad
Shiddiq Al-Jawi*
*Lajnah
Tsaqofiyah DPD I HTI Propinsi DIY; dosen STEI Hamfara Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar