Selasa, 22 Mei 2012

Hukum Asuransi Syariah


TIDAK SYARIAHNYA ASURANSI SYARIAH

Oleh : KH. M. Shiddiq Al Jawi
Post Bay : Haris Rosyadi

  • Gambaran Asuransi Syriah
Asuransi syariah di Indonesia dapat dikatakan tumbuh pesat, seiring dengan perkembangan “industri keuangan syariah” pada umumnya, seperti bank syariah. Meski dari market share (pangsa pasar) masih kecil, tapi dari segi peningkatan premi kotor meningkat cukup pesat.

Pangsa pasar asuransi syariah tahun ini telah mencapai 4% untuk produk asuransi jiwa dan 3,5% untuk asuransi umum. Angka ini mungkin dapat dianggap kecil dibanding pangsa pasar asuransi secara keseluruhan. Namun dilihat dari segi premi kotor, peningkatan yang ada cukup lumayan. Untuk premi kotor tahun ini (2012), terjadi peningkatan 10 kali lipat dibanding tahun 2006. Pada tahun 2006 premi kotor baru Rp499 miliar. Sedang pada akhir Desember 2011, premi kotor yang dibukukan asuransi syariah mencapai Rp4,97 triliun. (www.mediaindonesia.com, 19/5/2012).

Asuransi syariah di Indonesia sendiri mulai lahir tahun 1994, dengan berdirinya Asuransi Takaful Indonesia pada 25 Agustus 1994 dengan produk Asuransi Takaful Keluarga (life insurance). Sejak saat itu, beberapa perusahaan asuransi syariah yang lain lahir, seperti asuransi syariah “Mubarakah” (1997), serta berbagai unit asuransi syariah dari asuransi konvensional, seperti : MAA Assurance (2000), Asuransi Great Eastern (2001), Asuransi Bumiputera (2003), Asuransi Beringin Jiwa Sejahtera (2003), Asuransi Tripakarta (2002), Asuransi Jasindo Takaful (2003), Asuransi Binagria (2003), Asuransi Bumida (2003), Asuransi Staci Jasa Pratama (2004), Asuransi Central Asia (2004), Asuransi Adira Syariah (2004), Asuransi BNI Jiwasraya Syariah (2004), Asuransi Sinar Mas (2004), dan sebagainya. Sampai Mei 2008, sudah hadir 41 perusahaan asuransi syariah di Indonesia, 3 perusahaan re-asuransi syariah, dan 6 broker asuransi dan re-asuransi syariah.[1]

Tulisan ini bertujuan menunjukkan bahwa asuransi syariah yang ada sesungguhnya tidak sesuai  dengan syariah, karena banyak mengandung penyimpangan-penyimpangan syariah (mukhalafat syar’iyah) yang sangat fatal.

  • Pengertian Asuransi Syariah
Asuransi Syariah dalam literatur bahasa Arab disebut dengan istilah : At Ta`min At Ta’awuni, atau At Tamin At Takafuli , atau At Ta`min Al Islami.[2]

Asuransi Syariah menurut menurut Dewan Syariah Nasional MUI (DSN MUI) identik dengan istilah ta`min, takaful, atau tadhaamun, dan didefinisikan sebagai usaha saling melindungi dan tolong-menolong di antara sejumlah orang/pihak melalui investasi dalam bentuk aset dan/atau tabarru’ yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi risiko tertentu melalui akad (perikatan) yang sesuai dengan syariah. Akad yang sesuai dengan syariah tersebut maksudnya adalah akad yang tidak mengandung gharar (penipuan), perjudian, riba, penganiayaan/ kezaliman, suap, barang haram dan maksiat.[3]

Definisi Asuransi Syariah menurut Kitab Al Ma’ayir Al Syar’iyah (Sharia Standards) yang dikeluarkan oleh AAOIFI (Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial Institutions) edisi tahun 2010 :

التأمين الإسلامي هو اتفاق أشخاص يتعرضون لأخطار معينة على تلافي الأضرار الناشئة عن هذه الأخطار، وذلك بدفع اشتراكات على أساس الإلتزام بالتبرع، ويتكون من ذلك صندوق التأمين له حكم الشخصية الإعتبارية، وله ذمة شخصية مستقلة، (صندوق) يتم منه التعويض عن الأضرار التي تلحق أحد المشتركين من جراء وقوع الأخطار المؤمن منها
(المعايير الشرعية 2010، ص 364)

“Asuransi Islami adalah kesepakatan sejumlah orang yang menghadapi risiko-risiko tertentu dengan tujuan untuk menghilangkan bahaya-bahaya yang muncul dari risiko-risiko tersebut, dengan cara membayar kontribusi-kontribusi berdasarkan keharusan tabarru’ (hibah), yang darinya terbentuk dana pertanggungan –yang mempunyai badan hukum sendiri dan tanggungan harta independen– yang darinya akan berlangsung penggantian (kompensasi) terhadap bahaya-bahaya yang menimpa salah seorang peserta sebagai akibat terjadinya risiko-risiko yang telah ditanggung.”[4]

Definisi ringkas menurut AAOIFI edisi tahun 2010 adalah sebagai berikut :

التأمين التعاوني هو عقد تأمين جماعي يلتزم بموجبه كل مشترك بدفع مبلغ من المال على سبيل التبرع لتعويض الأضرار التي قد تصيب أيا منهم عند تحقق الخطر المؤمن منه
(المعايير الشرعية 2010، ص 376)

“Asuransi Islami adalah akad pertanggungan oleh sekelompok orang yang berdasarkan akad itu setiap peserta membayar sejumlah harta atas dasar tabarru’ (hibah) untuk mengganti bahaya-bahaya yang mungkin menimpa kepada siapa saja dari para peserta ketika terjadi risiko yang telah ditanggung.”[5]

  • Dalil-Dalil Asuransi Syariah
Dalil-dalil yang diajukan pihak yang melaksanakan Asuransi Syariah saat ini antara lain :
(1) Dalil-dalil tolong menolong (misal QS Al Maidah : 2 dan hadis)
(2) Dalil tabarru’, yaitu akad untuk kebajikan dan tolong menolong, seperti hibah.
(3) Dalil-dalil yang membolehkan mudharabah / musyarakah.
(4) Dalil-dalil ijarah (wakalah bil ujrah)
(5) Dalil yang membolehkan ta’widh (pemberian kompensasi), yaitu hadis laa dharara wa laa dhirara. (tidak boleh menimbulkan bahaya bagi diri sendiri maupun bahaya bai orang lain).[6]

Ada dalil hadis yang sering disebut yang diklaim sebagai dasar Asuransi Syariah, yakni hadis tentang Kaum Asy’ariyin. Dari Abu Musa RA, ia berkata: Nabi SAW bersabda:

إِنَّ الْأَشْعَرِيِّينَ إِذَا أَرْمَلُوا فِي الْغَزْوِ أَوْ قَلَّ طَعَامُ عِيَالِهِمْ بِالْمَدِينَةِ جَمَعُوا مَا كَانَ عِنْدَهُمْ فِي ثَوْبٍ وَاحِدٍ ثُمَّ اقْتَسَمُوهُ بَيْنَهُمْ فِي إِنَاءٍ وَاحِدٍ بِالسَّوِيَّةِ فَهُمْ مِنِّي وَأَنَا مِنْهُمْ

Bahwa kaum al-Asy’ariyun jika mereka kehabisan bekal di dalam peperangan atau makanan keluarga mereka di Madinah menipis, maka mereka mengumpulkan apa yang mereka miliki di dalam satu lembar kain kemudian mereka bagi rata di antara mereka dalam satu wadah, maka mereka itu bagian dariku dan aku adalah bagian dari mereka (HR Muttafaq ‘alaih).[7]

Dalil hadis lain yang juga sering disebut adalah hadis Abu Ubaidah bin Jarrah RA bahwa Rasulullah SAW pernah mengutus Abu Ubaidah bin Jarrah RA bersama 300 pasukan. Di jalan bekal habis, lalu Abu Ubaidah memerintahkan pasukan mengumpulkan semua bekal makanan, lalu mereka memakannya sedikit demi sedikit sampai habis. Sampailah mereka di tepi laut dan melihat seekor ikan besar seperti bukit, lalu mereka memakan ikan itu selama 18 malam… (HR Bukhari).[8]

Menurut para penggagas asuransi syariah, hadis-hadis tersebut menunjukkan upaya tolong menolong dalam rangka menanggulangi musibah, sesuatu yang juga terdapat dalam akad Asuransi Syariah di jaman modern ini.


  • Akad-Akad dalam Asuransi Syariah
Terdapat sekurang-kurangnya 3 (tiga) akad dalam Asuransi Syariah :
Pertama, akad hibah (tabarru’) di antara sesama pemegang polis (peserta asuransi) di mana peserta memberikan hibah yang akan digunakan untuk menolong peserta lain yang terkena musibah.
Kedua, akad mudharabah / musyarakah, dimana peserta bertindak sebagai shahibul mal (pemegang polis), sedang  bertindak perusahaan  bertindak sebagai mudharib (pengelola). Akadnya berupa mudharabah, jika perusaan asuransi tidak sharing modal. Jika perusahaan asuransi ikut sharing modal, berarti akadnya musyarakah,
Ketiga,  akad ijarah (wakalah bil ujrah), yaitu akad wakalah (pemberian kuasa) dari peserta kepada perusahaan asuransi untuk mengelola dana peserta dengan memperoleh imbalan (ujrah/fee).

Akad Wakalah  bil ujrah terdapat pada asuransi yang mengandung unsur tabungan (saving) maupun unsur tabarru’ atau yang tidak mengandung unsur tabungan (non saving).[9]

Praktik Umum Dalam Asuransi Syariah Non Saving (Tanpa Tabungan)
Dalam asuransi syariah non saving ini, seluruh premi yang dibayarkan peserta asuransi, menjadi dana tabarru’ (hibah). Diklaim bahwa tak ada dana untuk investasi pada akad ini. Pengelolaan dana tabarru’ tersebut dan aktivitas takaful (saling menanggung di antara peserta) selanjutnya dijalankan oleh perusahaan asuransi. Perusahaan asuransi mendapat ujrah (fee) dari pengelolaan dana tabarru’ tersebut berdasar  akad wakalah bil ujrah. Sementara itu peserta akan mendapat dana pertanggungan dari dana tabarru’ tersebut sesuai ketentuan yang ada.

Jadi pada asuransi non saving terdapat 2 (dua) akad :
Pertama, akad hibah (tabarru’) antar sesama peserta di bawah pengelolaan perusahaan.
Kedua, akad ijarah (wakalah bil ujrah) antara semua peserta dengan perusahaan.

  • Praktik Umum Asuransi Syariah Dengan Saving (Dengan Tabungan)
Adapun dalam asuransi syariah dengan saving, premi yang dibayarkan peserta asuransi kepada perusahaan asuransi dibagi dua : (1) dana untuk tabarru’, dan (2) dana untuk investasi (biasanya lebih besar dari dana tabarru’).  Dana tabarru’ ini lalu dikelola perusahaan asuransi dengan akad ijarah (wakalah bil ujrah). Perusahaan asuransi mendapat ujrah (fee) dari akad wakalah bil ujrah tersebut. Peserta akan mendapat dana pertanggungan dari dana tabarru’ tersebut sesuai ketentuan yang ada. Sementara dana investasi dikelola perusahaan asuransi dengan akad mudharabah / musyarakah, dan selanjutnya perusahaan asuransi mendapat bagi hasil dari akad investasi tersebut.

Jadi, dalam asuransi dengan saving ini terdapat 3 (tiga) akad :
Pertama, akad hibah (tabarru’) antar sesama peserta di bawah pengelolaan perusahaan
Kedua,  akad ijarah (wakalah bil ujrah) antara semua peserta dengan perusahaan.
Ketiga, akad mudharabah / musyarakah antara antara semua peserta dengan perusahaan.

Perlu diberi catatan di sini bahwa dalam akad mudharabah / musyarakah tersebut, peserta asuransi bertindak sebagai shahibul mal; perusahaan sebagai mudharib, atau sekaligus shahibul mal. Mengapa dikatakan demikian? Sebab perusahaan tidak mengelola langsung dana yang diinvestasikan denhgan melakukan bisnis riil (produksi barang atau jasa), melainkan melakukan re-asuransi, atau menginvestasikan dana ke bank. Keuntungan yang diperoleh dari mudharabah / musyarakah ini kemudian dibagi sesuai kesepakatan, antara peserta asuransi dan perusahaan asuransi. Sebagian keuntungan ini disisihkan untuk dana tabarru’.

  • Kritik Terhadap Asuransi Syariah
Asuransi Syariah sebagaimana dijabarkan faktanya di atas, menurut kami adalah akad yang tidak sah (batil) dan haram, karena terdapat paling kurang 6 (enam) penyimpangan syariah (mukhalafat syar’iyah) sebagai berikut :

Pertama, karena dalil-dalil yang digunakan tidak tepat, khusunya hadis Asy’ariyin dan hadis Abu Ubaidah bin Jarrah RA di atas. Pada kedua hadis tersebut, peristiwa bahaya terjadi lebih dahulu, baru kemudian terjadi proses ta’awun (tolong menolong). Sedang pada asuransi syariah, sudah diadakan akad ta’awun lebih dahulu, padahal peristiwa bahayanya belum terjadi sama sekali. Menurut Syaikh ‘Atha` Abu Rasyta, menggunakan hadis Asy’ariyin sebagai dasar asuransi syariah adalah istidlal yang keliru. (Ajwibatu As`ilah, tanggal 7 Juni 2010).

Kedua, karena terjadi penggabungan dua akad menjadi satu akad (multi akad). Padahal multi akad telah dilarang dalam syariah. Diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud RA bahwa Nabi SAW telah melarang dua kesepakatan dalam satu kesepakatan.” (HR Ahmad, hadis sahih). Yang dimaksud “dua kesepakatan dalam satu kesepakatan (shafqataini fi shafqah wahidah)” adalah adanya dua akad dalam satu akad (wujudu ‘aqdaini fi aqdin wahidin).[10]

Fakta menunjukkan bahwa pada asuransi syariah tanpa saving, terjadi penggabungan akad hibah dengan akad ijarah. Sementara pada asuransi syariah dengan saving, terjadi penggabungan akad hibah, akad ijarah, dan akad mudharabah.

Ketiga, karena tidak sesuai dengan akad dhaman (jaminan / pertanggungan) dalam Islam. Terdapat ketidaksesuaian dalam 3 segi sebagai berikut :
(1) Dari segi karakter akad. Karakter akad dhaman adalah akad tabarru’ (bertujuan kebajikan / tolong menolong), bukan akad tijarah (bertujuan komersial). Sedangkan asuransi Syariah hakikatnya bukan akad tabarru’, tapi akad tijarah, karena peserta mengharap mendapat klaim (dana pertanggungan) dan keuntungan dalam mudharabah.

Jadi pernyataan bahwa Asuransi Syariah adalah akad ta’awun dan bukan akad mu’awadhah / tabaduli (pertukaran), tidak tepat dan tidak sesuai dengan faktanya.

(2) Ketidaksesuaian dengan akad dhaman juga dapat dilihat dari segi tidak sesuainya jumlah para pihak dalam akad. Pada akad dhaman (jaminan / pertanggungan), terdapat 3 pihak, yaitu : (1) yang menjamin/ penanggung (dhamin), (2) yang dijamin / tertanggung (madhmun anhu), dan (3) yang mendapat jaminan / tanggungan (madhmun lahu).

Adanya tiga pihak tersebut didasarkan pada hadis Abu Qatadah RA bahwa kepada Nabi SAW pernah didatangkan sesosok jenazah agar beliau menshalatkannya. Lalu beliau bertanya, “Apakah ia punya hutang?” Para Sahabat berkata, “Benar, dua dinar.” Beliau bersabda, “Shalatkan teman kalian!” Kemudian Abu Qatadah berkata, “Keduanya (dua dinar itu) menjadi kewajibanku, wahai Rasulullah.” Nabi SAW pun lalu menshalatkannya. (HR Ahmad, Abu Dawud, an-Nasa’i dan al-Hakim).

Dalam hadis tersebut ada tiga pihak; Pertama, pihak yang menjamin/ penanggung (dhamin) adalah Abu Qatadah RA. Kedua, pihak yang dijamin / tertanggung (madhmun anhu) adalah jenazah. Ketiga, pihak yang mendapat jaminan / tanggungan (madhmun lahu) adalah orang yang memberi utang kepada jenazah.

Sementara itu dalam Asuransi Syariah, hanya ada dua pihak, bukan tiga pihak. Dua pihak tersebut adalah : Pertama, pihak yang menjamin/ penanggung (dhamin), yaitu para peserta semua; kedua, pihak yang mendapat jaminan / tanggungan (madhmun lahu) yaitu para peserta semua. Jadi dalam asuransi syariah tidak terdapat pihak ketiga, yaitu pihak yang dijamin / tertanggung (madhmun anhu).

(3) ketidaksesuaian ketiga dengan akad dhaman, dapat dilihat dari segi dhammu dzimatin ila dzimmatin, yakni penggabungan tanggungan satu pihak kepada tanggungan pihak lainnya. Dalam akad dhaman telah terjadi dhammu dzimatin ila dzimmatin, sebegaimana nampak pada hadis Abu Qatadah RA di atas, bahwa Abu Watadah telah menggabungkan dzimmah (tanggungan) si jenazah, kepada tanggungan diri Abu Qatadah RA itu sendiri. Jadi tanggungan yang wajib ditunaikan jenazah, berpindah menjadi tanggungan Abu Qatadah RA. Adapun dalam asuransi syariah, dhammu dzimatin (penggabungan tanggungan) itu tidak terjadi dan tidak ada. Karena ketika seorang peserta asuransi membayar premi, dia tidak sedang mempunyai tanggungan apa pun kepada siapa pun, yang wajib dia tunaikan. Jadi, asuransi syariah tidak sesuai dengan akad dhaman dalam Islam.  

Keempat, karena akad hibah (tabarru’) dalam Asuransi Syariah tidak sesuai dengan pengertian hibah itu sendiri. Sebab hibah dalam pengertian syar’i adalah pemberian kepemilikan tanpa kompensasi / pengganti (tamliik bilaa ‘iwadh). (Imam Syaukani, Nailul Authar, Bab Hibah, Beirut : Dar Ibn Hazm, 2000, hlm. 1169)

Sementara dalam Asuransi Syariah, peserta asuransi memberikan dana hibah, tapi mengharap mendapat kompensasi (‘iwadh / ta’widh), bukannya tidak mengharap. Jadi sebenarnya tidaklah tepat Asuransi Syariah dikatakan sebagai akad hibah, tapi harus jujur disebut sebagai akad investasi yang mengharapkan keuntungan !

Kelima, karena hibah (tabarru’) yang diberikan peserta dalam Asuransi Syariah, akan kembali kepada peserta itu (jika terjadi risiko atas suatu peristiwa yang ditanggung misal kebakaran) ditambah dengan hibah dari para peserta lainnya. Menurut kami ini haram hukumnya, sebab menarik kembali hibah yang telah diberikan hukumnya haram. (Yahya Abdurrahman, Asuransi dalam Tinjauan Syariah, hlm. 42).

Sabda Nabi SAW :

العائد في هبته كالكلب يعود في قيئه

“Orang yang menarik kembali hibahnya, sama dengan anjing yang menjilat kembali muntahannya.” (HR Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Nasa`i, Ibnu Majah, dan Ahmad).

Keenam, karena telah terjadi gharar (ketidaktentuan, uncertainty) dalam Asuransi Syariah. Sebab peserta tidak tahu dengan jelas apakah betul perusahaan asuransi bertindak sebagai pengelola, ataukah sebagai pengelola sekaligus sebagai pemodal ketika perusahaan menginvestasikan kembali dana premi ke pihak ketiga, dan seterusnya. Peserta juga tak tahu dengan jelas ke mana perusahaan asuransi akan menginvestasikan dana yang ada, apakah ke bank, bank konvensional atau bank syariah, ataukah melakukan re-asuransi ke perusahaan asuransi berikutnya, dan seterusnya. Adanya gharar ini berarti menegaskan keharaman Asuransi Syariah yang ada saat ini.

Penutup
Dari kajian ringkas di atas, dapat diambil kesimpulan tegas bahwa asuransi syariah adalah akad yang batil (tidak sah) dan haram hukumnya. Dengan demikian, sudah seharusnya para pihak (stakeholders) yang terlibat dalam akad haram ini bertobat dan kembali kepada kebenaran (ruju’ ilal haq) dengan ikhlas, baik pemerintah, MUI, dunia bisnis asuransi, maupun masyarakat. Marilah kita bertaubat, sebelum kita menjadi makhluk tersesat dengan memakan harta yang batil atas nama syariah ! Astaghfirullaahal’azhiem.


[1] Lihat Andri Soemitra, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, hlm. 250-251.
[2] Lihat kitab-kitab fiqih kontemporer seputar asuransi syariah, misalnya Dr Ali Muhyidin Al Qarhudaghi, At Ta`min At Ta’awuni Mahiyatuhu wa Dhawabituhu wa Muawwiqatuhu; Dr Sulaiman bin Dari` Al ‘Azimi At Ta`min At Ta’awuni Mu’awwiqatuhu wa Istisyrafu Mustaqbalatihi; Dr Musa Musthafa Musa Al Qudhah  At Ta`mi At Takafuli  Bayna Dawafi’ An Numuwwi wa Makhathir Al Jumud.
[3] Lihat Fatwa DSN No 21/DSN-MUI/IX/2001, hlm. 5. Selengkapnya fatwa-fatwa DSN MUI terkait Asuransi Asuransi Syariah adalah : (1) Fatwa DSN No 21/DSN-MUI/IX/2001 ttg Pedoman Umum Asuransi Syariah, (2) Fatwa DSN No 51/DSN-MUI/III/2006 tentang akad Mudharabah Musyarakah pada Asuransi Syariah, (3) Fatwa DSN No 52/DSN-MUI/III/2006 tentang Akad Wakalah bil Ujrah, (4) Fatwa DSN No 53/DSN-MUI/III/2006 tentang Akad Tabarru’ pada Asuransi dan Reasuransi Syariah.  
[4] Al Ma’ayir Al Syar’iyah, edisi tahun 2010, hlm. 364.
[5] Al Ma’ayir Al Syar’iyah, edisi tahun 2010, hlm. 376.
[6] Dalil-dalil selengkapnya lihat Al Ma’ayir Al Syar’iyah, hlm. 372-375, Fatwa-Fatwa DSN MUI no 21, 51, 52, dan 52.
[7] Lihat Abdus Sattar Abu Ghuddah, Nizham At Ta`min At Takafiuli min Khilal Al Waqf, hlm. 3.
[8] Lihat Abdus Sattar Abu Ghuddah, Nizham At Ta`min At Takafiuli min Khilal Al Waqf, hlm. 3
[9] Lihat Andri Soemitra, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, hlm. 265-266; Fatwa DSN No 21/DSN-MUI/IX/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah).
[10] Taqiyuddin Nabhani, Al Syakhshiyah Al Islamiyah, Juz II hlm. 308.

2 komentar:

  1. Mohon Dicarikan Solusi Realnya Broooo, harus berupa lembaga ysng bisa menjadi Alternatif. jangan hanya Mengkritisi tanpa solusi......

    BalasHapus
  2. Tulisan yang tendensius tanpa solusi adalah bukan masukan yang bijak

    BalasHapus