Sejarah Kekhilafahan
By: Haris
Rosyadi
A.Sejarah Politik dalam Perkembangan Bani Umayyah: Sebuah
Pengantar
Sejarah perkembangan Islam selalu menarik untuk dijadikan bahan
kajian. Dengan sejarah, kita dapat mengetahui perkembangan Islam secara lebih
detil dan mendalam. Sejarah juga menceritakan fakta-fakta menarik yang selalu
dijadikan hikmah atas peristiwa, agar kita dapat mengambil pelajaran dan
menjadikan sejarah tersebut sebagai bahan pertimbangan kita dalam bersikap.
Pendekatan sejarah telah menjadi sebuah perspektif dalam ilmu
politik, yaitu pendekatan behavioralisme atau pattern of political behavior
(Budiardjo, 1993: 17)1. Sejarah member analisis tentang Sebagai unit analisis,
sejarah telah banyak memberi kontribusi dalam pengembangan pemikiran politik
dan menceritakan pola-pola kecenderungan dalam perkembangan politik. Sehingga,
ketika kita berbicara tentang politik, kita juga tak dapat melepaskan diri dari
sejarah yang melatarbelakanginya
Dalam diskursus politik Islam, sejarah sangat memberi kontribusi
karena pemikiran-pemikiran politik Islam tak dapat dilepaskan dari perilaku
orang-orang terdahulu. Ketika kita berbicara tentang pemikiran politik Ibnu
Taimiyyah, misalnya, kita tak dapat melepaskan sebuah fakta bahwa pemikiran
politik Islam yang ditelurkannya berkaitan dengan kondisi sosiologis dan
kondisi politik yang terjadi pada era tersebut. Atau pemikiran Ibnu Khaldun
yang selama ini dikenal sebagai ‘Bapak Sosiologi Islam’, juga tak dapat
dilepaskan dari konteks historis dan sosial-politik pada era tersebut (Ralliby,
1960)2.
Tak hanya itu, model negara yang sekarang banyak menjadi wacana
publik juga tak dapat dilepaskan dari wacana historis. Konstruksi negara
khilafah yang dicita-citakan oleh beberapa harakah Islam banyak mengambil
sampel pada konsep khilafah ketika era Khulafaurrasyidin, Bani Umayyah,
Abbasiyah, dan Utsmaniyyah. Model kesejahteraan umat dan keadilan sosial pun
sedikit banyaknya berasal dari sejarah umat Islam di era-era tersebut.
Sehingga, sejarah tak dapat dilepaskan begitu saja dari pokok kajian ilmu
politik –terutama politik Islam— agar terjadi kesinambungan antara sejarah dan
masa depan.
Dalam pendekatan behavioralisme, lebih jauh, akan ada sebuah
variabel penting yang tak dapat dipisahkan, yaitu aktor sejarah.
Peristiwa-peristiwa yang tercatat dalam sejarah hanya akan terekam dalam memori
kita ketika ada aktor intelektual –atau aktor utama—yang menjadi penggerak
dalam peristiwa tersebut. Misalnya, ketika kita berbicara mengenai perang
shiffin, kita pasti akan mengingat sebuah peristiwa penting yang mengubah
konstruksi dan konstelasi politik pada masa tersebut, yaitu peristiwa tahkim3
Harus dicatat, peristiwa tahkim adalah strategi yang sangat
efektif yang berasal dari Amr bin Ash, negosiator ulung dari kalangan Muawiyah.
Peran Amr bin Ash menjadikan sejarah harus berubah dan menempatkan kemenangan
Muawiyah atas Ali. Maka, tak salah jika Thomas Carlyle mengatakan bahwa
“history is story of great men” (sejarah adalah cerita tentang orang-orang
besar)4.
Dalam konteks dinasti Umayyah, aktor juga berperan dominan. Kami
menggunakan pendekatan aktor sejarah ini dengan mengaitkan keberhasilan
pembangunan politik yang dilakukan dengan keberadaan para khalifah yang
berkuasa pada era tersebut. Pendekatan aktor ini penting karena konstruksi
ketatanegaraan pada era tersebut menempatkan kedudukan Khalifah yang begitu
sentralistik serta istana-sentris.
Maka, pendekatan behavioralisme sangat berperan dalam mengupas
persoalan-persoalan penting dalam mengupas sejarah politik dan pemerintahan
Islam di Era Dinasti Umayyah. Dalam hal ini, kami mencoba untuk mengupas
sejarah Dinasti Umayyah yang menjadi aktor utama dalam sejarah Islam Pasca-Ali.
Dalam hal ini, kami akan memfokuskan diri untuk membahas
kontruksi sosial-politik pada era Umayyah yang berlangsung dari tahun 661 M –
750 M.
B.Garis Besar Sejarah Bani Umayyah
Sejarah Bani Umayyah tak dapat dilepaskan
dari sejarah sebelumnya, yaitu krisis kepemimpinan yang melanda umat Islam
pasca-terbunuhnya Khalifah Utsman bin Affan r.a. Sejarah mencatat bahwa setelah
terbunuhnya khalifah Utsman, bibit konflik mulai muncul. Umat Islam mulai mengalami konflik internal antara beberapa
faksi yang ada, seperti perang Jamal antara faksi ummum mu’minin Aisyah dan
Zubair bin Awwam r.a. dengan faksi Ali. Konflik juga terjadi pada perang
Shiffin antara Muawiyah dengan Ali.
Menarik untuk dicermati, konflik ini
bermuara pada aktivitas pemberontakan yang berakibat pada terbunuhnya Khalifah
Utsman di akhir kepemimpinannya. Ketika Ali menggantikan Utsman,
umat Islam terfaksionalisasi menjadi beberapa kelompok, seperti kelompok
‘Aisyah r.a., kelompok Ali, dan kelompok Muawiyah yang pada waktu itu menjadi
gubernur di Syam (Syria dan sekitarnya). Faksionalisasi ini pada gilirannya
melahirkan pergumulan politik yang begitu tajam hingga beberapa periode
khilafah di era Dinasti Umayyah.
Pada perang Shiffin, ada dua golongan yang berseteru akibat
krisis kepemimpinan tersebut, yaitu golongan khalifah Ali dan golongan
Muawiyah. Golongan Muawiyah yang mempertanyakan legitimasi politik dari
Khalifah Ali menyusun kekuatan, ditambah dukungan dari Amr bin Ash yang menjadi
gubernur Mesir. Sementara itu, golongan Ali tidak merespons gerakan yang
dibangun oleh Muawiyah, sehingga kedua belah pihak sama-sama show of force di
Shiffin, tepi Sungai Jordan.
Perang Shiffin ini kemudian melahirkan
gagasan untuk bertahkim, yaitu mengangkat sumpah di hadapan Al-Qur’an dan atas
nama Allah Subhanahu wa Ta’ala bahwa kedua belah pihak akan melepaskan diri
dari kekuasaan dan akan menyerahkan kepemimpinan pada umat. Pada saat itu, golongan khalifah Ali radhiyallahu ‘anhu menunjuk
Abu Musa Al-Asy’ari, seorang dari Bani Abdusshams dan muhajirin yang termasuk
golongan awal masuk Islam serta terlibat dalam hijrah ke Abissinia (Sirah Ibnu
Ishaq: 219)5. Sementara itu, golongan Muawiyah menunjuk Amr bin Ash sebagai
negosiator. Amr bin Ash sendiri juga adalah muhajirin dan merupakan panglima
umat Islam ketika tentara muslimin menaklukkan Mesir di era Khalifah Umar bin
Khattab.
Peristiwa tahkim tentu saja sangat diingat karena mengubah
sejarah pada waktu itu. Golongan Ali menerima usulan dan segera melepaskan
kepemimpinan. Akan tetapi, Amr bin Ash ternyata menyatakan melepaskan
kepemimpinan dan ternyata, di luar dugaan, menyatakan bahwa Khalifah yang sah
adalah Muawiyah. Karena hal ini adalah sumpah6, maka sebagai konsesi Khalifah
Ali membagi wilayah menjadi dua: Wilayah Hijaz, Yaman, dan Nejd (Semenanjung
Arabia) menjadi kekuasaan Ali, sementara Syam dan Mesir di bawah Muawiyah.
Ternyata, hasil konsesi tersebut
menimbulkan implikasi lanjutan berupa terfragmentasinya kekuatan Ali menjadi
tiga: Syiah, Khawarij, dan kelompok yang setia dengan khalifah Islam. Dua kelompok pertama kemudian bertransformasi menjadi faksi
teologis dan tidak lagi berafiliasi kepada kekuatan umat yang utama pada waktu
itu. Pada perkembangannya, kelompok Khawarij melakukan tindakan takfir kepada
tiga tokoh umat yang berkonflik pada waktu itu: Ali, Muawiyah, dan Amr bin
Al-Ash. Kelompok ini akhirnya mengutus pengikutnya untuk membunuh ketiga orang
tersebut, namun hanya Ali yang berhasil dibunuh oleh Abdurrahman bin Muljam di
Kufah, selepas Shalat Subuh.
Meninggalnya Ali kemudian berimplikasi pada vacuum of power di
tubuh umat Islam. Orang-orang Hijaz mengangkat bai’at kepada Hasan bin Ali,
tetapi Hasan menolak bai’at dan membuat perjanjian dengan Muawiyah. Isi
perjanjian tersebut salah satunya adalah mempersilakan Muawiyah untuk menjadi
khalifah, tetapi dengan catatan Muawiyah menghentikan sikapnya untuk
mencaci-maki Ali di mimbar Jum’at (Manshur, 2003)7.
Sebagai implikasinya, kedudukan Muawiyah bertambah kuat hingga
akhirnya ia berhasil mengonsolidasi kekuatannya dengan mendirikan Dinasti
Umayyah. Fase ini menjadi era baru bagi pergantian kepemimpinan di tubuh umat
Islam ada waktu itu. Berikut deskripsi kepemimpinan khalifah di era Bani Umayyah.
C.Konstruksi Negara Bani Umayyah
1.Konstruksi Kekuasaan
Sistem ketatanegaraan yang dibangun oleh Muawiyah bin Abu Sufyan
bin Harb sebagai khalifah adalah sistem pemerintahan monarki atau kerajaan.
Pergantian kepemimpinan dilakukan dengan pewarisan ke putera mahkota (dari ayah
ke anak atau saudara) dan dilakukan dengan mekanisme penunjukan, bukan
lagiSyuro. Khalifah lebih berfungsi sebagai Raja, berbeda dengan Khalifah di era
Khulafaur-Rasyidin. Sistem monarki yang terbangun juga menempatkan Bani Umayyah
sebagai kaum bangsawan dan lingkaran kekuasaan.
Hal ini berbeda dengan paradigma kekuasaan pada era sebelumnya
yang menempatkan Khalifah sebagai pemegang amanah umat. Sehingga, seorang
Khalifah pada saat itu merupakan sebuah konsensus dari umat Islam yang dipilih
dengan mekanisme yang syar’i. Seorang Khalifah ketika era Khulafaur Rasyidin
menempatkan kesederhanaan dan kezuhudan sebagai bagian tak terpisahkan dari
seorang Khalifah. Ketika Muawiyah menjadi khalifah, paradigma ini secara
otomatis berubah.
Implikasi pertama yang menyertai konstruksi monarki ini adalah
berubahnya pola kekuasaan. Otoritas tertinggi ada pada khalifah, sehingga pada
waktu itu seorang khalifah harus ditaati perintahnya. Hal ini berbeda dengan
kondisi di era Khulafaur Rasyidin, ketika ternyata sanggahan seorang ibu kepada
Khalifah Umar berkaitan dengan kebijakan dan anjuran untuk menurunkan mahar
nikah dari para pemuda berhasil membuat Khalifah Umar merevisi kebijakannya.
Ketika itu, Al-Qur’an dan perintah Rasulullah menjadi sumber kebijakan yang
paling utama.
Implikasi kedua adalah sentralisasi dan absolutisme kekuasaan
yang begitu kental. Peran seorang khalifah dalam menentukan kebijakan sangat
besar. Gubernur tidak diperkenankan membuat kebijakan sendiri –terutama ketika
periode transisi—dan peran Khalifah dalam pembuatan keputusan sangat dominan
(Ralliby, 1963: 220)11. Dampak positif dari kekuasaan yang sangat sentralistik
ini adalah ketepatan strategi dalam mengatasi pemberontakan, tetapi hal ini
juga berdampak negatif pada kemunculan kelompok-kelompok penekan dan potensi
ketidakadilan yang sangat tampak.
Implikasi ketiga adalah berkurangnya peran ulama dari lingkaran
kekuasaan. Kecuali pada era Umar bin Abdul Aziz, peran ulama tidak sesentral
era Khulafaur Rasyidin sehingga kecenderungan pemerintahan di Bani Umayyah ini
tidak memasukkan ulama. Para ulama menjauh dari lingkaran elit istana; mereka
hanya memberi fatwa dan nasehat di kalangan masyarakat. Kendati demikian,
pemerintah terkadang meminta fatwa kepada para ulama berkaitan dengan sebuah
permasalahan tertentu tanpa ada implikasi-implikasi lain.
Implikasi keempat adalah kekuasaan ada pada sekeliling istana
saja. Kelompok dari luar Bani Umayyah tidak memiliki akses pada pemutus
kebijakan sehingga menimbulkan beberapa gejolak. Sistem monarki tidak
memungkinkan adanya orang dari kelompok lain memegang tampuk kekuasaan,
sehingga muncul gerakan-gerakan yang ingin merebut kekuasaan, seperti Abdullah
bin Zubair dan Abul Abbas As-Saffah. Implikasi inilah yang menyebabkan
runtuhnya Dinasti Umayyah.
2.Konstruksi Oposisi dan Kelompok Penekan
Dalam literatur ilmu politik, kita mengenal kelompok penekan
atau oposisi dan kelompok berkuasa atau Status-Quo. Kelompok penekan ini muncul
sebagai respons atas hegemoni yang ada, dan dominasi yang dilakukan oleh
kelompok berkuasa. Kelompok penekan dapat berbentuk gerakan politik
ekstrakekuasaan (aktivitas massa), pemberontakan (insurgency), gerakan
separatis, atau faksi politik yang secara laten mengembangkan kekuatan dan
melancarkan kritik terbatas pada kelompok Status-Quo.
Seperti dijelaskan di atas, sistem pemerintahan Bani Umayyah
yang monarki, konstruksi oposisi secara otomatis terbangun dengan gerakan
politik ekstrakekuasaan dan pemberontakan. Dalam konteks sejarah Bani Umayyah,
pemberontakan banyak yang dapat dipadamkan oleh Khalifah. Akan tetapi, ada dua
gerakan yang menarik untuk diulas dalam hal ini, yaitu gerakan yang dibangun
oleh Abdullah bin Zubeir bin Awwam di Hijaz dan gerakan yang dibangun oleh Abul
Abbas As-Saffah di Kufah. Kedua gerakan ini eksis dalam rentang waktu yang
cukup lama dan memiliki legitimasi dari kelompok dan daerah masing-masing.
Pertama, gerakan Abdullah bin Zubeir. Gerakan ini merupakan stimulasi
kekecewaan warga di daerah jazirah Arab (Hijaz dan sekitarnya) atas
kepemimpinan Muawiyah bin Abu Sufyan dan khalifah di bawahnya. Gerakan in
mengakar pada kekecewaan atas sikap Muawiyah yang secara taktis merebut
kekuasaan atas Ali dengan perundingan yang dianggap tidak fair (peristiwa
tahkim). Pascapembantaian Karbala yang melahirkan Syiah sebagai faksi teologis
tersendiri, penduduk Hijaz membai’at Abdullah bin Zubeir sebagai Khalifah dan
mulai mengonsolidasi diri.
Kekuatan oposisi terbangun. Abdullah bin Zubeir yang mendapat
legitimasi politik dari orang-orang Mekkah dan Madinah mulai membangun
pertahanan di Mekkah. Kedekatan Abdullah bin Zubeir dengan kaum ulama semakin
memperkokoh kedudukannya sebagai pemimpin oposisi, ditambah dengan melemahnya
kekuatan Damaskus sepeninggal Muawiyah. Konstruksi gerakan oposisi ini
merupakan respons atas terbunuhnya Husein bin Ali dan hilangnya hak politik
Hasan bin Ali oleh Damaskus. Disparitas kekuasaan yang begitu mencolok juga
menjadi sebuah alasan bagi terbentuknya gerakan oposisi tersebut pada waktu
itu.
Namun, ternyata rekonsolidasi kekuatan Bani Umayyah di era
kepemimpinan Khalifah Abdul Malik bin Marwan berhasil mengalahkan kekuatan
oposisi yang telah terbangun tersebut. Di sini, menarik untuk dicermati bahwa
pemerintahan yang kuat dapat melemahkan gerakan oposisi. Apalagi dengan
tampilnya Abdul Malik bin Marwan dengan panglima Hajjaj bin Yusuf Ats-Tsaqafi
sebagai pemimpin perang yang ahli dalam strategi, Bani Umayyah menjadi semakin
kuat dan tangguh.
Fenomena berbeda justru terjadi pada kekuatan oposisi yang
dibangun oleh Abul Abbas As-Saffah. Mereka memanfaatkan disparitas dan
ketidakadilan yang dialami oleh kelompok mawalli (non-Arab) yang merasa
dinomorduakan pada kepemimpinan Bani Umayyah, kecuali era Umar bin Abdul Aziz.
Gerakan Abbasiyah juga memainkan peran yang penting dalam proses pembentukan
gerakan dengan aksi-aksi yang laten namun mengancam eksistensi pemerintahan.
Isu-isu yang dibawa oleh gerakan, didukung oleh kekuatan eksternal dari orang-orang
mawalli, efektif sebagai gerakan oposisi yang mengancam kekuasaan.
Di sini, sekali lagi struktur
pemerintahan menjadi sebuah parameter keberhasilan. Pasca-era Hisyam bin Abdul
Malik, pemerintahan Bani Umayyah telah menjadi pemerintahan yang lemah (weak
government). Lemahnya pemerintahan, hilangnya figur Khalifah yang
strategis, serta efektivitas gerakan telah menguatkan posisi gerakan Abbasiyah.
Hingga akhirnya kelompok ini bertransformasi menjadi gerakan politik total yang
berhasil merebut kekuasaan pada tahun 750 M.
Dari dua gerakan tersebut, kita patut mencermati dua fenomena.
Pertama, struktur pemerintahan yang lemah dan kuat menentukan efektivitas dari
gerakan oposisi atau kelompok penekan tersebut. Ketika figur Khalifah yang
memimpin Daulah bukan figur yang baik secara manajerial, kelompok penekan
menjadi begitu kuat dan berhasil mengancam kekuasaan. Akan tetapi, pemerintahan
yang kuat dan dibantu kekuatan militer yang berada di bawah kekuasaan
pemerintah dapat memperlemah kekuatan oposisi. Di sini, kuat atau lemahnya
struktur pemerintahan berpengaruh besar.
Kedua, gerakan oposisi memerlukan legitimasi politik. Dua
gerakan di atas dapat bertahan lama dan menjadi ancaman besar karena mereka
memiliki legitimasi politik dari kelompok pendukung. Gerakan Abdullah bin
Zubeir mendapat legitimasi dari orang-orang Hijaz, sedangkan Gerakan Abul Abbas
As-Saffah mendapat legitimasi politik dari orang-orang Mawalli dan Bani Abbas
di Mekkah. Legitimasi menjadi sebuah tolak ukur keberhasilan sebuah gerakan,
karena pemerintah juga memerlukan legitimasi untuk menanamkan pengaruh dan
kekuasaannya.
3.Konstruksi Politik Luar Negeri
Dari awal era Khulafaur-Rasyidin, konstruksi politik luar negeri
didasarkan atas upaya untuk dakwah dan menyebarkan Islam secara ekspansif dengan
kekuatan yang dimiliki. Begitu pula dengan orientasi dan dasar politik luar
negeri Bani Umayyah. Spirit dakwah dan penyebaran Islam melalui jalur kekuasaan
menjadi sebuah hal yang tak terelakkan dalam politik luar negeri Bani Umayyah.
Secara geopolitik, posisi Arab pada era Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi Was Salam terletak di antara dua buah kekaisaran yang saling
memperebutkan pengaruh: Persia dan Romawi. Pergumulan kedua kekaisaran ini
diabadikan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam Al-Qur’an Surah Ar-Rum. Dengan
posisi ini, Arab sebenarnya sangat rawan terhadap penetrasi atau aneksasi dari
kedua kekaisaran yang begitu kuat.
Namun, kepemimpinan Khalifah Umar bin Khattab yang kuat berhasil
menaklukkan Persia. Khalifah Umar juga mengirim pasukan ke Mesir dan Palestina
serta mendesak kedudukan Romawi di dua tempat tersebut. Bargaining position
umat Islam mulai muncul dan berlangsung sampai era awal Bani Umayyah.
Khalifah Muawiyah melanjutkan penyebaran dakwah ke wilayah lain.
Kali ini, wilayah Asia Kecil seperti Balkh, Bukhara, Samarkand, atau Khawarizm
di Iran Utara berhasil dikuasai. Wilayah Afrika Utara dari Maroko sampai ke
Tunisia dan Sahara Barat juga dapat menerima dakwah Islam. Prestasi ini bahkan
berlanjut sampai ke Eropa dan India di era Walid bin Abdul Malik. Sehingga,
secara territorial wilayah umat Islam terbentang dari Pegunungan Pyrennia di
Spanyol sampai ke Delhi di India.
Perluasan wilayah ini merupakan salah satu parameter
keberhasilan dari politik luar negeri yang dibangun oleh umat Islam pada era
Bani Umayyah tersebut. Dengan adanya batas territorial baru tersebut, hubungan
antara umat Islam dengan bangsa lain di luar Timur Tengah juga menjadi semakin
intensif dan hubungan perdagangan pun dibuka dengan bangsa lain. Ketika itu,
Damaskus telah bertransformasi menjadi pusat peradaban yang menampilkan Islam
sebagai sebuah peradaban.
Selain itu, umat Islam juga telah menjadi kekuatan politik
internasional baru yang mewarnai dunia. Bani Umayyah yang secara gemilang
melakukan penyebaran dakwah menjadikan Islam tidak hanya menjadi milik bangsa
Arab, tetapi telah menjadi sebuah agama yang dianut oleh bangsa lain. Terjadi
universalisasi peradaban Islam yang sejalan dengan konsep Islam sebagai
rahmatan lil ‘alamin (Ridha, 2004: 85)12.
Bertambah luasnya territorial umat Islam ini juga berdampak pada
struktur birokrasi pemerintahan pada Bani Umayyah. Sebagai implikasi munculnya
daerah baru, pada saat itu muncul gubernur-gubernur yang memerintah daerah baru
tersebut sebagai wakil dari pemerintah pusat. Adanya gubernur yang menjadi
wakil administratif tersebut kemudian menambah pemasukan di Baitul Mal berupa
jizyah dari orang non-muslim yang berada di wilayah kekuasaan umat Islam.
Selain itu, bertambah luasnya teritori umat Islam tersebut juga
memiliki implikasi bagi stratifikasi sosial baru di kalangan umat Islam. Muncul
kemudian kelompok Arab dan Mawalli (muslim non-Arab) yang menempati strata
sosial berbeda di masyarakat. Kelompok mawalli merasa dinomorduakan dan
kemudian menjalin hubungan dengan Bani Hasyim untuk kemudian membentuk gerakan
oposisi. Stratifikasi sosial ini juga tak lepas dari kebijakan politik Bani
Umayyah yang tidak ingin kekuasaannya terancam.
D.Mengurai Konsepsi Daulah: Simpulan Analisis
Dari analisis di atas, kami dapat mengambil kesimpulan bahwa :
1.
1.Sejarah dinasti Umayyah tak dapat dilepaskan dari peristiwa
sebelumnya, yaitu konflik horizontal antara faksi Muawiyah dan Ali sebagai
Khalifah pada waktu itu. Momentum perseteruan terjadi pada Perang Shiffin,
ketika pasukan dua golongan bertemu. Perang ini diakhiri dengan peristiwa
Tahkim yang menandai pembagian kekuasaan antara Muawiyah dan Ali, hingga
terbunuhnya Ali.
2.
.Dinasti Umayyah yang terbentang mulai tahun 661 M – 750 M telah
mengalami dinamika dan pasang-surut kepemimpinan. Faktor Khalifah atau aktor
yang menjadi pemutus kebijakan tertinggi menjadi sangat penting bagi kekuatan
Dinasti. Ketika Khalifah yang berkuasa kuat, kedaulatan Bani Umayyah pun juga
menjadi kuat. Begitu pula sebaliknya ketika Khalifah yang berkuasa lemah, kedaulatan
pun juga terancam. Faktor aktor sejarah menjadi hal yang begitu dominan pada
era ini
3.
Bani Umayyah telah membangun konstruksi politik yang sedemikian
besar ketika berkuasa. Konstruksi kekuasaan dibangun dengan mekanisme kerajaan
atau monarki, sehingga berimplikasi pada bergesernya pola orientasi kekuasaan,
sentralisme kekuasaan pada Khalifah yang berdampak pada absolutisasi kebijakan
Khalifah, berkurangnya peran ulama dalam pembuatan keputusan, serta munculnya
lingkaran elit yang berbasis istana dengan dominasi kelompok-kelompok di
sekeliling Khalifah.
4.
Konstruksi Oposisi terbentuk dengan adanya ketidakpuasan atas
Khalifah dengan dua aktor utama: Abdullah bin Zubair dan Abul Abbas As-Saffah.
Gerakan Abdullah bin Zubair dapat dihancurkan dengan kekuatan Khalifah yang
begitu kuat, sementara Abul Abbas As-Saffah tak dapat dikalahkan dengan mudah
dan akhirnya berhasil merebut kekuasaan.
5.
Konstruksi politik luar negeri dibangun dengan dasar penyebaran
Islam melalui penaklukkan-penaklukkan. Umat Islam berhasil mengembangkan
territorial kekuasaan mereka hingga Spanyol di ujung barat dan India di ujung
selatan. Dengan demikian, kekuatan politik luar negeri dibangun atas kolaborasi hard dan soft power yang terbangun
atas relasi yang saling mendukung.
If yοu аre gοing fоr finеst contents like I
BalasHapusdo, ѕimply pay a viѕіt thіs sіte аll the tіme foг the reason thаt
it pгovides quality сontеntѕ, thanκs
Alѕο ѵisit my wеb-site; payday loans
Also see my web site - payday loans