KH. M. Shiddiq
Al-Jawi
Pengantara
Telaah ini
bertujuan menerangkan pengaturan interaksi pria dan wanita dalam kehidupan
publik menurut Syariah Islam, sebagaimana diterangkan oleh Imam Taqiyuddin
An-Nabhani dalam kitabnya An-Nizham Al-Ijtima'i fi Al-Islam (2003), khususnya
hal. 25-30 pada bab Tanzhim Ash-Shilat Bayna Al-Mar`ah wa Ar-Rajul (Pengaturan
Interaksi Wanita dan Pria).
Pengaturan
tersebut sebenarnya bukan persoalan yang mudah. Karena menurut An-Nabhani,
pengaturan yang ada hendaknya dapat mengakomodasi dua faktor berikut ini;
Pertama, bahwa potensi hasrat seksual pada pria dan wanita dapat bangkit jika
keduanya berinteraksi, misalnya ketika bertemu di jalan, kantor, sekolah,
pasar, dan lain-lain. Kedua, bahwa pria dan wanita harus saling tolong menolong
(ta'awun) demi kemaslahatan masyarakat, misalnya di bidang perdagangan,
pendidikan, pertanian, dan sebagainya. (h. 25-26).
Bagaimana
mempertemukan dua faktor tersebut? Memang tidak mudah. Dengan maksud agar
hasrat seksual tidak bangkit, bisa jadi muncul pandangan bahwa pria dan wanita
harus dipisahkan secara total, tanpa peluang berinteraksi sedikit pun. Namun
jika demikian, tolong menolong di antara keduanya terpaksa dikorbankan alias
tidak terwujud. Sebaliknya, dengan maksud agar pria dan wanita dapat tolong
menolong secara optimal, boleh jadi interaksi di antara keduanya dilonggarkan
tanpa mengenal batasan. Tapi, dengan begitu akibatnya adalah bangkitnya hasrat
seksual secara liar, seperti pelecehan seksual terhadap wanita, sehingga malah
menghilangkan kehormatan (al-fadhilah) dan moralitas (akhlaq).
Hanya Syariah
Islam, tegas An-Nabhani, yang dapat mengakomodasi dua realitas yang seakan
paradoksal itu dengan pengaturan yang canggih dan berhasil. Di satu sisi
Syariah mencegah potensi bangkitnya hasrat seksual ketika pria dan wanita
berinteraksi. Jadi pria dan wanita tidaklah dipisahkan secara total, melainkan
dibolehkan berinteraksi dalam koridor yang dibenarkan Syariah. Sementara di
sisi lain, Syariah menjaga dengan hati-hati agar tolong menolong antara pria
dan wanita tetap berjalan demi kemaslahatan masyarakat.
Pengaturan
Syariah
An-Nabhani
kemudian menerangkan beberapa hukum syariah untuk mengatur interaksi pria dan
wanita. Hukum-hukum ini dipilih berdasarkan prinsip bahwa meski pria dan wanita
dibolehkan beriteraksi untuk tolong menolong, namun interaksi itu wajib diatur
sedemikian rupa agar tidak membangkitkan hasrat seksual, yakni tetap menjaga
kehormatan (al-fadhilah) dan moralitas (akhlaq). (h. 27). Di antara hukum-hukum
itu adalah :
1. Perintah
menundukkan pandangan (ghadhdhul bashar). Pria dan wanita, keduanya
diperintahkan Allah SWT untuk ghadhdhul bashar. (QS An-Nuur : 30-31). Yang
dimaksud ghadhdhul bashar menurut An-Nabhani adalah menundukkan pandangan dari
apa-apa yang haram dilihat dan membatasi pada apa-apa yang dihalalkan untuk
dilihat (h. 41). Pandangan mata adalah jalan masuknya syahwat dan bangkitnya hasrat
seksual, sesuai sabda Nabi SAW dalam satu hadits Qudsi :
"Pandangan
mata [pada yang haram] adalah satu anak panah di antara berbagai anak panah
Iblis. Barangsiapa meninggalkannya karena takut kepada-Ku, Aku gantikan
pandangan itu dengan keimanan yang akan dia rasakan manisnya dalam
hatinya." (HR Al-Hakim, Al-Mustadrak, 4/349; Al-Baihaqi, Majma'uz Zawaid,
8/63). (Abdul Ghani, 2004)
2. Perintah
atas wanita mengenakan jilbab dan kerudung. Menurut An-Nabhani, busana wanita
ada dua, yaitu jilbab (QS Al-Ahzab : 59) dan kerudung (khimar) (QS An-Nuur :
31). Jilbab artinya bukan kerudung, sebagaimana yang disalahpahami kebanyakan
orang, tapi baju terusan yang longgar yang terulur sampai ke bawah, yang
dipakai di atas baju rumah (h. 44, 61). Sedang kerudung (khimar) adalah apa-apa
yang digunakan untuk menutupi kepala (h. 44). Penjelasan An-Nabhani mengenai
arti "jilbab" ini sejalan beberapa kamus, antara lain dalam kitab
Mu'jam Lughah Al-Fuqaha` :
"[Jilbab
adalah] baju longgar yang dipakai wanita di atas baju (rumah)-nya."
(Qal'ah Jie & Qunaibi, Mu'jam Lughah Al-Fuqaha`, hal. 124; Ibrahim Anis
dkk, Al-Mu'jamul Wasith, 1/128).
3. Larangan
atas wanita bepergian selama sehari semalam, kecuali disertai mahramnya.
Larangan ini berdasarkan hadits Nabi SAW :
"Tidak
halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir untuk
melakukan perjalanan selama sehari semalam, kecuali dia disertai
mahramnya." (HR Muslim, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban).
4. Larangan
khalwat antara pria dan wanita, kecuali wanita itu disertai mahramnya. Khalwat
artinya adalah bertemunya dua lawan jenis secara menyendiri (al-ijtima' bayna
itsnaini 'ala infirad) tanpa adanya orang lain selain keduanya di suatu tempat.
(h. 97). Misalnya, di rumah atau di tempat sepi yang jauh dari jalan dan
keramaian manusia. Khalwat diharamkan, sesuai hadits Nabi SAW :
"Janganlah
sekali-kali seorang laki-laki berkhalwat dengan seorang wanita, kecuali wanita
itu disertai mahramnya." (HR Bukhari dan Muslim).
5. Larangan
atas wanita keluar rumah, kecuali dengan seizin suaminya. Wanita (isteri) haram
keluar rumah tanpa izin suaminya, karena suaminya mempunyai hak-hak atas
isterinya itu. An-Nabhani menukilkan riwayat Ibnu Baththah dari kitab Ahkamun
Nisaa`, ada seorang wanita yang suaminya bepergian. Ketika ayah wanita itu
sakit, wanita itu minta izin Nabi SAW untuk menjenguknya. Nabi SAW tidak
mengizinkan. Ketika ayah wanita itu meninggal, wanita itu minta izin Nabi SAW
untuk menghadiri penguburan jenazahnya. Nabi SAW tetap tidak mengizinkan. Maka
Allah SWT pun mewahyukan kepada Nabi SAW :
"Sesungguhnya
Aku telah mengampuni wanita itu karena ketaatannya kepada suaminya."
(Taqiyuddin An-Nabhani, An-Nizham Al-Ijtima'i fi Al-Islam, h. 29).
6. Perintah
pemisahan (infishal) antara pria dan wanita. Perintah ini berlaku untuk
kehidupan umum seperti di masjid dan sekolah, juga dalam kehidupan khusus
seperti rumah. Islam telah memerintahkan wanita tidak berdesak-desakan dengan
pria di jalan atau di pasar (h. 29). (Al-Jauziyah, 1996).
7. Interaksi
pria wanita hendaknya merupakan interaksi umum, bukan interaksi khusus.
Interaksi khusus yang tidak dibolehkan ini misalnya saling mengunjungi antara
pria dan wanita yang bukan mahramnya (semisal "apel" dalam kegiatan
pacaran), atau pria dan wanita pergi bertamasya bersama. (h. 30).
Syariah : Obat
Mujarab Bagi Penyakit Sosial
Beberapa hukum
syariah yang disebutkan An-Nabhani di atas sesungguhnya merupakan obat bagi
penyakit sosial saat ini, yaitu interaksi atau pergaulan antara pria dan wanita
yang rusak, yakni telah keluar dari ketentuan Syariah Islam. Penyakit sosial
ini tak hanya ada di masyarakat Barat (AS dan Eropa), tapi juga di masyarakat
Dunia Islam yang bertaklid kepada Barat. Penyakit masyarakat ini misalnya
pelecehan seksual, seks bebas, perkosaan, hamil di luar nikah, aborsi, penyakit
menular seksual (AIDS dll), prostitusi, homoseksualisme, lesbianisme,
perdagangan wanita, dan sebagainya. (Thabib, 2003:401-dst).
Pada tahun 1975
Universitas Cornell AS mengadakan survei mengenai pelecehan seksual (sexual
harassement) bagi wanita karier di tempat kerja. Ternyata sejumlah 56 % wanita
karier di AS mengalami pelecehan seksual pada saat berkerja. Di AS, sebanyak 21
% remaja puteri AS telah kehilangan keperawanan pada umur 14 tahun, dan satu
dari delapan remaja puteri kulit putih AS (7,12 %) tidak perawan lagi pada umur
20 tahun (Abdul Ghani, 2004). Satu dari sepuluh remaja puteri AS (berumur 15-19
tahun) telah hamil di luar nikah, dan satu dari lima remaja puteri AS telah
melakukan hubungan seksual di luar nikah. (Andrew Saphiro, We're Number One,
h.18; dalam Abdul Ghani, 2004).
Beberapa data
tersebut menunjukkan bobroknya masyarakat Barat, yang sebenarnya berakar pada
pengaturan interaksi pria dan wanita yang liberal dan sekular, yang telah
menjauhkan diri dari nilai-nilai moral dan spiritual.
Sayang
kenyataan pahit itu tak hanya terjadi di Barat, tapi juga di Dunia Islam,
termasuk Indonesia. Indonesia yang sekular juga tidak menjadikan Syariah untuk mengatur
interaksi/pergaulan pria dan wanita. Akibatnya pun sama dengan yang ada di
masyarakat Barat, yaitu timbulnya berbagai penyakit sosial yang kronis yang
sulit disembuhkan. Di RSCM Jakarta, setiap minggunya didatangi 4 hingga 5 orang
pasien HIV/AIDS (data tahun 2001). Kasus aborsi terjadi 2,5 juta per tahun, dan
1,5 juta di antaranya dilakukan oleh remaja. LSM Plan bekerjasama dengan PKBI
(Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia) pernah meneliti perilaku seks remaja
Bogor tahun 2000. Hasilnya, dari 400-an responden, 98,6 % remaja usia 10-18
tahun sudah melakukan apa yang disebut "pacaran"; 50,7 % pernah
melakukan cumbuan ringan, 25 % pernah melakukan cumbuan berat, dan 6,5 % pernah
melakukan hubungan seks. Sebanyak 28 responden (pria dan wanita) telah
melakukan seks bebas, 6 orang dengan penjaja seks, 5 orang dengan teman, dan 17
orang dengan pacar. (Al-Jawi, 2002:69)
Data-data ini
menunjukkan penyakit sosial yang parah juga melanda masyarakat kita, yang telah
mengekor pada masyarakat Barat yang bejat dan tak bermoral. Sungguh, tidak ada
obat yang mujarab untuk penyakit itu, kecuali Syariah Islam, bukan yang lain.
Di sinilah
letak strategisnya gagasan An-Nabhani di atas, yaitu menjadi obat atau solusi
terhadap penyakit sosial yang kronis dengan cara mengatur kembali interaksi
pria wanita secara benar dengan Syariah Islam. Hanya dengan Syariah Islam,
interaksi pria wanita dapat diatur secara sehat dan berhasil-guna. Yaitu tanpa
membangkitkan hasrat seksual secara ilegal, namun tetap dapat mewujudkan tolong
menolong di antara kedua lawan jenis untuk mewujudkan kemaslahatan bagi
masyarakat. Wallahu a'lam [ ]
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Ghani,
Muhammad Ahmad, Al-'Adalah Al-Ijtimaiyah fi Dhau` Al-Fikri Al-Islami
Al-Mu'ashir, (T.Tp. : T.p), 2004
Al-Albani,
Muhammad Nashiruddin, Jilbab Wanita Muslimah Menurut Al-Qur`an dan As-Sunnah
(Jilbab Al-Mar`ah Al-Muslimah fi al-Kitab wa As-Sunnah), Penerjemah Hawin
Murtadlo & Abu Sayyid Sayyaf, (At-Tibyan : Solo), 2001.
Al-Jauziyah,
Ibnu Qayyim, Ath-Thuruq Al-Hukmiyah fi As-Siyasah Asy-Syar'iyah, (Makkah :
Al-Maktabah At-Tijariyah), 1996
Al-Jawi,
Muhammad Shiddiq, Malapetaka Akibat Hancurnya Khilafah, (Bogor : Al Azhar
Press), 2004.
An-Nabhani,
Taqiyuddin, An-Nizham Al-Ijtima'i fi Al-Islam, (Beirut : Darul Ummah), 2003
Anis, Ibrahim
dkk, Al-Mu'jam Al-Wasith, (Kairo : Darul Ma'arif), 1972
Thabib, Hamad
Fahmi, Hatmiyah Inhidam Ar-Ra'sumaliyah Al-Gharbiyah, 2003
Qal'ah Jie,
Rawwas, & Hamid Shadiq Qunaibi, Mu'jam Lughah Al-Fuqaha`, (Beirut : Darun
Nafa`is), 1988
Tidak ada komentar:
Posting Komentar