Menunda shalat (ta`khir as shalah) hukumnya boleh (ja`iz) jika tak
sampai keluar dari waktu shalat. Sebab kewajiban shalat dalam istilah fiqih
disebut kewajiban muwassa’, yakni kewajiban yang waktu pelaksanaannya dapat
dipilih pada waktu mana pun yang tersedia, baik di awal, tengah, maupun akhir
waktu. (Ali Raghib, Ahkamus Shalah, hlm. 18).
Namun yang lebih baik mengerjakan shalat pada waktu ikhtiyar, yakni
waktu yang disunnahkan, misalnya mengerjakan shalat Isya dari awal waktu yaitu
tenggelamnya mega merah hingga pertengahan malam (nishf al lail). Waktu shalat
sesudah habisnya waktu ikhtiyar disebut waktu jawaz/dharurat/karahah, yakni
waktu shalat yang sudah tak disunnahkan lagi, meski masih dibolehkan. (Mahmud
Uwaidhah, Al Jami’ li Ahkam As Shalah, II/12).
Atas dasar itu, menunda shalat dengan alasan olah raga hukumnya
boleh, selama penundaan shalat itu tak sampai keluar dari waktu shalat.
Namun walaupun sah mengerjakan shalat hingga di akhir waktu, tak
sepantasnya hal ini dilakukan oleh seorang muslim yang taat. Terutama jika ia
hanya sempat shalat satu rakaat sebelum waktu shalat habis. Seseorang yang
masih sempat shalat satu rakaat sebelum waktu habis, memang dianggap mendapati
shalat, berdasarkan sabda Nabi SAW:
من أدرك ركعة من الصلاة فقد أدرك الصلاة
”Barangsiapa mendapati satu rakaat dari shalat, berarti dia
mendapati shalat.” (HR Bukhari).
Namun demikian walau shalatnya sah, dia berdosa karena terdapat
dalil yang mencela shalat seperti ini yang mirip dengan shalatnya orang
munafik. Dari Anas bin Malik RA, dia berkata,”Aku mendengar Rasulullah SAW
bersabda :
تلك صلاة المنافق ، يجلس يرقب الشمس حتى
إذا كانت بين قرنَي الشيطان قام فنقرها أربعاً، لا يذكر الله إلا قليلاً
”Itulah shalatnya orang munafik. Dia duduk menunggu-nunggu matahari,
hingga tatkala matahari berada di antara dua tanduk syaitan (hampir terbenam),
dia cepat-cepat shalat empat rakaat, dia tak mengingat Allah kecuali sedikit.”
(HR Muslim). (Mahmud ‘Uwaidhah, Al Jami’ li Ahkam As Shalah, II/18).
Adapun jika penundaan shalat itu sampai keluar dari waktu shalat,
hukumnya haram dan merupakan dosa besar. Sebab mengerjakan shalat pada waktunya
adalah kewajiban yang harus dipelihara setiap muslim, sesuai firman Allah
SWT :
حافظوا على الصلوات
“Peliharalah segala shalatmu.” (QS Al Baqarah [2] : 238).
Dari Fudhalah RA, Nabi SAW bersabda :
حافظ على الصلوات الخمس
“Peliharalah shalat yang lima.” (HR Ahmad dan Abu Dawud).
Maka tak dibolehkan menunda shalat hingga keluar dari batas
waktunya, kecuali terdapat udzur syar’i, seperti ketidasengajaan karena lupa
atau tertidur, atau karena dalam perjalanan (safar) atau hujan yang membolehkan
shalat jama’ ta`khir.
Atas dasar itu, menunda shalat dengan alasan olah raga hukumnya
haram dan dosa besar, jika penundaan shalat itu sampai keluar dari waktu shalat
tanpa udzur syar’i.
Kami tegaskan pula, aktivitas olah raga apa pun yang menyebabkan
penundaan shalat yang demikian itu, hukumnya haram juga, berdasarkan kaidah
fiqih :
الوسيلة إلى الحرام محرمة
“Al wasilah ilal al haram muharramah.” (segala perantaraan yang
mengakibatkan keharaman, maka perantaraan itu haram hukumnya). (M. Shidqi
Burnu, Mausu’ah Al Qawa’id Al Fiqhiyyah, XII/199; Musa Al Usairi, Ahkam Kurah
Al Qadam fi Al Fiqh Al Islami, hlm. 63 & 331; Diyab Al Ghamidi, Haqiqah
Kurah Al Qadam, hlm. 44).
Kami tambahkan pula perjalanan (safar) yang membolehkan shalat
jama’ ta`khir (jika jaraknya minimal 16 farsakh = 88,7 km), disyaratkan tak
disertai kemaksiatan. Jika disertai kemaksiatan, hukum rukhshah (keringanan)
berupa jama’ ta`khir tetap tak boleh dilaksanakan, sesuai kaidah fiqih :
الرخص لا تناطى بالمعاصي
“Ar rukhash laa tunaathu bil ma’ashi.” (hukum rukhshah tak dapat
dikaitkan dengan kemaksiatan). (M. Shidqi Burnu, Mausu’ah Al Qawa’id Al
Fiqhiyyah, IV/401).
Maka jika olah raga yang dilakukan disertai kemaksiatan, misalnya
pemain sepak bola tak menutup aurat antara pusar dan lututnya, dia tetap tak
boleh shalat jama’ ta`khir walaupun statusnya musafir. Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar