Kamis, 26 Juli 2012

Amaliyah Ramadhan

Ramadhan  sudah datang. Bulan yang sejatinya dinanti-nantikan oleh jutaan bahkan milyaran umat Islam. Ramadhan bukanlah bulan untuk bermalas-malasan. Secara individu, hendaknya kita memiliki keinginan kuat untuk menjadikan Ramadhan kali ini lebih bermakna. Selain melaksanakan serangkaian amalan sunnah yang secara langsung terkait dengan ibadah puasa, seperti: mengakhirkan makan sahur, menyegerakan berbuka, bersiwak, menjaga lisan dari setiap perkataan kotor dan tidak bermanfaat, ada beberapa amaliyah lain yang harus senantiasa perlu dijaga dan ditingkatkan pengamalannya di bulan penuh berkah ini:


1. Lebih dekat dengan Alquran
Ramadhan memang sangat identik dengan Alquran, karena pada bulan inilah Alquran pertama kali diturunkan. Karenanya, marilah kita perbanyak membacanya. Membaca Alquran disamping dapat memberiakn ketenangan jiwa, syifa (obat), juga memiliki nilai pahala yang besar di sisi Allah SWT.
Kebiasaan umat Islam untuk memperbanyak membaca bahkan mengkhatamkann Alquran pada bulan Ramadhan harus senantiasa dijaga. Namun, tentu tidak cukup hanya dengan membacanya saja. Kecintaan terhadap Alquran harus dibuktikan dengan penerimaan terhadap isi kandungannya, sembari terus membaca, mempelajari, menadaburi, dan membumikannya dalam seluruh aspek kehidupan. Rasulullah SAW sendiri pernah mengadu kepada Allah SWT, atas sikap abai umatnya terhadap Alquran. Hal ini tertuang dalam Alquran: “Dan berkatalah Rasul: “Ya Tuhanku, sesungguhnya kaumku menjadikan Alquran itu sesuatu yang tidak diacuhkan” (TQS al-Furqon: 30). Imam Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya menyebutkan bahwa yang termasuk sikap abai terhadap Alquran (min hujraani Alquran) adalah tidak mempelajari dan menghafalkan Alquran,  tidak mengimani dan membenarkannya, tidak menadaburi dan memahami isi kandungannya, tidak mengamalkan, menaati perintah-perintahnya dan menjauhi larangan-larangan yang terdapat di dalamnya, termasuk meninggalkan Alquran dan menggantinnya dengan yang lain (baik berupa syair, ucapan, nyanyian, permainan, sistem serta jalan hidup yang tidak bersumber darinya)” (Lihat: Tafsir Alquran al-’adzim libni Katsir, juz 3, hal. 386).

2. Shalat Malam dan I’tikaf
Rasulullah SAW bersabda: “Siapa saja yang berdiri (melaksanakan shalat malam) pada bulan Ramadhan,  dengan dilandasi keimanan dan mengharap pahala dari Allah, maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu” (HR. Bukhari dan Muslim). Yang dimaksud al-qiyam (berdiri) dalam hadits ini adalah shalat tahajjud, termasuk shalat tarawih yang biasa dilakukan secara berjamaah. Imam An-Nawawiy memberi judul hadits ini dengan: baab at-targiib fii qiyaamu ramadhan wa hua at-taraawih (bab anjuran untuk melakukan qiyamu Ramadhan, yakni shalat tarawih). Para ulama sepakat bahwa shalat malam hukumnya sunnah, namun mereka berbeda pendapat apakah yang lebih afdhal dilakukan sendirian di rumah ataukah secara berjamaah di masjid. Jumhur as-Syafi’iyyah, Imam Ahmad, Abu Hanifah, dan sebagian madzab Maliki berpendapat bahwa shalat berjamaah di masjid lebih afdhal, sebagaimana dilakukan Umar Ibnu al-Khatab dan para sahabat setelahnya, karena dengannya syiar Islam akan lebih tampak (Syarhun Nawawiy Li Muslim, juz 6, hal. 39). Terlebih bagi orang-orang yang masih memiliki perasaan berat apabila melakukannya sendirian di rumah. Pada ‘asyrul awaakhir (sepuluh hari terakhir) bulan Ramadhan, hendaknya frekuensi ibadah semakin ditambah.  Selain shalat  malam,  disunahkan beri’tikaf di masjid. Dalam hadits riwayat Anas, ia menuturkan: “Rasulullah SAW beri’tikaf pada al-‘Asyrul Awaakhir dari bulan Ramadhan”. (HR. at-Tirmidzi). Dalam hadits lain Imam Bukhari meriwayatkan bahwa: “Nabi SAW bila memasuki sepuluh akhir (dari bulan Ramadhan), beliau mengencangkan sarung, menghidupkan malam-malamnya dan membangunkan keluarganya” (HR. Al-Bukhari)Dengan demikian, kurang tepat tentunya jika hanya mengkhususkan malam tertentu demi mendapatkan lailatul qadar.  Imam Ibnu Hajar memberi penjelasan terhadap hadits: “man qaama lailatal qadri (barang siapa yang melaksanakan shalat pada malam lailatul qadar)” , bahwa siapa saja yang melakukannya walaupun tidak tepat pada malam lailatul qadar sungguh ia telah mendapatkan keutamaanya (pahalanya). (Fathul Bari Libni Hajar, juz 6, hal. 306). 

3.       Memperbanyak Sedekah
Ada banyak ayat dan hadits yang mendorong agar banyak bersedekah, khususnya di bulan Ramadhan. Allah SWT berfiman: “Sekali-kali kalian tidak akan mendapatkan kebajikan, sebelum kalian menginfaqkan sebagian harta yang kalian cintai.  Dan apapun yang kalian infaqkan, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui”.(TQS Ali Imron: 92). Infaq atau sedekah yang dimaksud dalam ayat ini adalah sedekah dengan harta (ash-shodaqah al-maliyah), baik dengan cara menyantuni faqir miskin, memberi makan orang yang berbuka  hingga infaq dalam perjuangan dakwah di jalan Allah SWT, sebagaimana dicontohkan Rasulullah SAW beserta para sahabatnya. Dalam sirah dapat ditemukan bahwa Ramadhan pertama, mereka jalani dengan pengorbanan luar biasa untuk mempersiapkan perang Badar al-Kubro. Jiwa dan harta mereka menjadi kado Ramadhan pertama, dalam menyambut seruan Allah SWT untuk berjihad di jalan-Nya. Namun, bagi yang belum memiliki kelapangan harta, Allah SWT telah memberikan jalan lain kepada setiap Muslim untuk tetap bisa bersedekah. Rasulullah SAW bersabda: “Pada setiap pagi, pada tiap-tiap ruas persendian  di antara kalian memiliki hak, yaitu shadaqah. Setiap tasbih (subhanallah) adalah shadaqah, setiap tahmid adalah shadaqah, setiap tahlil adalah shadaqah, setiap takbir adalah shadaqah, amar ma’ruf termasuk shadaqah, mencegah dari kemungkaran termasuk shadaqah, dan shalat dhuha dua raka’at mencakup amaliya-amaliyah  itu.” (HR. Muslim).

4. Memperbanyak Doa.
Berdoa adalah di antara ibadah yang diperintahkan Allah SWT kepada hambanya. Doa memang tidak hanya mesti dilakukan di bulan Ramadhan. Hanya saja, bulan Ramadhan memiliki keutamaan yang lebih dibanding bulan-bulan yang lain. Di dalam Alquran sendiri Allah SWT menempatkan ayat tentang doa bersamaan dengan ayat-ayat tentang ibadah puasa. walaupun doa merupakan ibadah, namun ia harus tetap disertai dengan usaha (al-akhdzu bil asbab). Sebab, demikianlah Rasulullah memerintahkan dan mencontohkan dalam setiap doa-doa beliau. Dalam perang Badar (yakni pada Ramadhan pertama disyari’atkannya puasa) Rasulullah SAW menyiapkan pasukan dan strategi perang dengan sangat matang, bermusyawarah bersama para sahabat, seraya terus menerus berdoa memohon pertolongan kepada Allah SAW. Saking lamanya Rasulullah SAW berdoa, Abu Bakar pun menegurnya: “yakfiika ya Rasulallah (Cukup wahai Rasulullah)” (Sirah Ibnu Hisyam, juz 2, hal. 626).

5. Meningkatkan Intensitas Dakwah.
Ketakwaan sejatinya tidak hanya diwujudkan dalam kehidupan pribadi,  yang seringkali luntur setelah Ramadhan usai. Namun, ketakwaan juga harus secara riil diwujudkan dalam kehidupan bermasyarakat, melalui tegaknya hukum-hukum Allah SWT dalam setiap sendi-sendi kehidupan, baik dalam bidang ekonomi, sosial, pergaulan, politik, dll. Ini tidak mungkin bisa diwujudkan kecuali dengan upaya bersama untuk menerapkan seluruh hukum-hukum Allah SWT, mulai dari kehidupan pribadi, masyarakat, dan negara. Singkat kata, selama hukum-hukum Allah SWT dicampakan selama itu pulalah hikmah puasa, hanya sekadar menjadi mawa’idz (petuah-petuah) yang senantiasa di ulang setiap tahun tanpa membawa perubahan berarti bagi kebangkitan umat Islam. Dulu, di saat  kaum Muslimin telah memiliki negara di Madinah,  Rasulullah SAW bersama mereka mengisi bulan ramadhan dengan jihad fii sabiililah (Perang badar: 17 Ramadan 2 H, persiapan perang Khandaq: Ramadhan 5H, Fathul Makkah: 20 Ramadhan 8H, perang Tabuk: Ramadhan 9H, pengiriman surat dan delegasi ke luar jazirah Arab: Ramadhan 10 H), maka saat ini ketika negara itu tidak ada, saatnya kaum Muslim menjadikan bulan Ramadhan tahun ini sebagai bulan dakwah, bulan penegakan syariah dan khilafah yang akan mengembalikan kejayaan umat serta mewujudkan ketundukan hakiki kepada Allah SWT. (abu muhtadi) [dikutib dari : al-khilafah.org]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar