Tanya :
Ustadz, mohon dijelaskan hukum sholat jamak karena hujan. (Muammar Ali, Yogya)
Jawab :
Para ulama berbeda pendapat mengenai boleh tidaknya menjamak sholat karena hujan. Menurut ulama Hanafiyah sholat jamak secara umum tidak boleh, termasuk sholat jamak karena hujan.
Karena menurut ulama Hanafiyyah waktu-waktu sholat (mawaqit as sholah) telah ditetapkan berdasarkan Hadits Mutawatir, sehingga waktu-waktu shalat tidak boleh ditinggalkan dengan dalil-dalil takhsis (pengecualian) yang hanya berupa Hadits Ahad. Ulama Hanafiyyah hanya membolehkan sholat jamak dalam satu keadaan saja, yaitu sholat jamak taqdim antara Zhuhur dan Ashar khusus bagi jamaah haji pada hari Arafah, dan sholat jamak ta`khir antara Maghrib dan Isya khusus bagi jamaah haji pada malam Muzdalifah. Mereka berhujjah dengan hadits Ash Shahihain, bahwa Ibu Mas’ud RA berkata :
«والذي لا إله غيره، ما صلى رسول الله صلّى الله عليه وسلم صلاة قط إلا لوقتها، إلا صلاتين، جمع بين الظهر والعصر بعرفة، وبين المغرب والعشاء بجَمْع» أي بالمزدلفة.
”Demi [Dzat] yang tak ada tuhan selainnya, tidaklah pernah Rasulullah SAW sholat kecuali pada waktunya, kecuali dua sholat saja (yang dikerjakan diluar waktunya), yaitu jamak Zhuhur dan Ashar di Arafah, dan jamak Maghrib dan Isya’ di Jama’” (yaitu maksudnya di Muzdalifah).” (Wahbah Zuhaili, Al Fiqh Al Islami wa Adillatuhu, 2/503).
Sedangkan jumhur ulama, yaitu ulama Malikiyyah, Syafi’iyyah, dan Hanabilah membolehkan menjamak sholat karena hujan berdasarkan hadits-hadits sahih. Namun jumhur ulama berbeda pendapat dalam cabang-cabang hukum masalah ini. Ulama Syafi’iyyah membolehkan menjamak sholat zhuhur dan ashar, juga sholat maghrib dan isya`. Adapun ulama Malikiyyah dan Hanabilah, hanya membolehkan menjamak sholat zhuhur dan ashar saja, tidak membolehkan menjamak sholat maghrib dan isya’. Dari segi jamak takdim dan jamak ta`khir, ulama Malikiyyah dan Syafi’iyyah membolehkan jamak taqdim saja, tidak membolehkan jamak ta`khir. Sedang ulama Hanabilah membolehkan jamak takdim dan juga jamak ta`khir. (Qadhi Shafad, Rahmatul Ummah fi Ikhtilaf Al A`immah, hlm. 56-57, Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah, Juz 15 hlm. 289-290; Wahbah Zuhaili, Al Fiqh Al Islami wa Adillatuhu, 2/505).
Menurut ulama Malikiyyah dan Syafi’iyyah, juga menurut satu pendapat di kalangan ulama Hanabilah, kebolehan menjamak sholat karena hujan hanya khusus bagi mereka yang sholat jamaah di masjid. Jadi tidak boleh menjamak sholat bagi mereka yang sholat sendirian (munfarid) atau sholat jamaah di rumah. Sedang menurut pendapat yang lebih rajih (al arjah) di kalangan ulama Hanabilah, menjamak sholat karena hujan secara umum boleh bagi mereka baik yang sholat jamaah di masjid maupun yang sholat sendirian di rumah. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah, Juz 15 hlm. 291).
Setelah mengkaji dalil-dalilnya, menurut kami, yang rajih adalah pendapat jumhur ulama yang membolehkan menjamak sholat karena hujan. Dalilnya antara lain hadits Ash Shahihain dari Ibnu Abbas RA bahwasanya :
صلى بنا رسول الله صلّى الله عليه وسلم بالمدينة الظهر والعصر جميعاً، والمغرب والعشاء جميعاً » زاد مسلم «من غير خوف ولا سفر»
“Rasululullah SAW telah mengimami sholat bersama kami di Madinah menjamak sholat Zhuhur dan Ashar semuanya, dan sholat Maghrib dan Isya semuanya.” Imam Muslim menambahkan,”(sholat jamak itu dilakukan) tanpa alasan adanya ketakutan atau alasan dalam perjalanan.” (HR Bukhari & Muslim)
Imam Malik dan Imam Syafi’i mensyarah hadits di atas dengan mengatakan,”Saya melihat sholat jamak tersebut dilakukan Nabi SAW karena adanya udzur (keringanan) berupa hujan.” (araa dzaalika bi ‘udzril mathar). (Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah, Juz 15 hlm. 290).
Adapun pendapat ulama Hanafiyah yang tak membolehkan sholat jamak karena hujan dengan alasan Hadits Ahad tak boleh mengecualikan Hadits Mutawatir, tidak dapat diterima. Karena Hadits Ahad sesungguhnya boleh mengecualikan Hadits Mutawatir, sebab hadits adalah sumber hukum (dalil syar’i), baik Hadits Mutawatir maupun Hadits Ahad. Dengan kata lain, kebolehan Hadits Ahad mentakhsis Hadits Mutawatir, dikarenakan kedua jenis hadits tersebut sama-sama merupakan wahyu Allah walaupun hanya wahyu dari segi makna. (Wahbah Zuhaili, Al Fiqh Al Islami wa Adillatuhu, 2/503; Taqiyuddin An Nabhani, As Syakhshiyyah Al Islamiyyah, Juz 3 hlm. 259; Wahbah Zuhaili, Ushul Al Fiqh Al Islami, juz I hlm. 252).
Hadits Ibnu Mas’ud RA yang menafikan adanya sholat jamak oleh Nabi SAW kecuali di Arafah dan Muzdalifah, tidak dapat diamalkan karena ia hadits yang marjuuh (lemah secara tarjih). Sebab hadits Ibnu Mas’ud RA itu bertentangan dengan hadits Ibnu Abbas RA yang menetapkan Nabi SAW melakukan sholat jamak di Madinah (di luar Arafah dan Muzdalifah). Hadits Ibnu Abbas RA ini dianggap lebih rajih (kuat) daripada hadits Ibnu Mas’ud RA, berdasarkan kaidah tarjih menurut jumhur ulama yang berbunyi : al daliil al mutsbit murajjah min ad daliil an naafi (dalil yang menetapkan adanya sesuatu, lebih kuat daripada dalil yang menafikan adanya sesuatu). (Taqiyuddin An Nabhani, As Syakhshiyyah Al Islamiyyah, Juz 3 hlm. 494; Wahbah Zuhaili, Ushul Al Fiqh Al Islami, juz 2 hlm. 1197).
Adapun dari segi sholat apa saja yang boleh dijamak, dari segi jamak taqdim dan jamak ta`khir, juga dari segi apakah harus dilakukan secara berjamaah di masjid, kami cenderung kepada pendapat Imam Taqiyuddin An Nabhani yang mengatakan sholat jamak karena hujan dibolehkan secara mutlak. Artinya, boleh dilakukan untuk menjamak sholat zhuhur dan ashar, juga sholat maghrib dan isya`, boleh dilakukan secara jamak takdim atau juga jamak ta`khir, dan secara umum boleh bagi mereka baik yang sholat jamaah di masjid maupun yang sholat sendirian di rumah. (Ali Raghib, Ahkamus Sholah, hlm. 41; Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Al Jami’ li Ahkamis Sholah, 2/343).
Kemutlakan hukum tersebut disimpulkan berdasarkan dalil-dalil yang mutlak pula, sesuai kaidah ushuliyah yang berbunyi : al muthlaqu yajriy ‘alaa ithlaaqihi maa lam yarid daliilun yadullu ‘ala at taqyiid. (dalil yang mutlak tetap dalam kemutlakannya, selama tidak terdapat dalil yang menunjukkan batasan). (Wahbah Zuhaili, Ushul Al Fiqh Al Islami, Juz 1 hlm. 208).
Dalil-dalil hadits yang mutlak tersebut, hanya menyebut satu sebab saja untuk bolehnya menjamak sholat karena hujan, yaitu hujan, tanpa menyebut kesulitan (masyaqqah) sebagai sebab bolehnya sholat jamak karena hujan. (Ali Raghib, Ahkamus Sholah, hlm. 40-41; Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Al Jami’ li Ahkamis Sholah, 2/343).
Imam Taqiyuddin An Nabhani juga mengatakan bahwa tidak disyaratkan hujan sedang turun pada saat takbiratul ihram, tapi disyaratkan waktu sholat itu adalah waktu hujan turun (yauma mathiirin), misalnya sedang mendung. Dalilnya adalah hadits Jabir bin Zaid RA berikut ini :
عن جابر بن زيد عن ابن عباس: «أن النبي صلى بالمدينة سبعاً وثمانياً الظهر والعصر والمغرب والعشاء فقال أيوب لعله في ليلة مطيرة قال عسى» رواه البخاري
Dari Jabir bin Zaid dari Ibnu Abbas,”Bahwasanya Nabi SAW sholat di Madinah sebanyak tujuh dan delapan rakaat, menjamak Zhuhur dan Ashar, Maghrib dan Isya.’ Maka berkatalah Ayyub [kepada Jabir] jamak yang dilakukan Nabi SAW mungkin dalam malam berhujan (lailatin mathiiratin). Jabir menjawab,”Bisa jadi.” (HR Bukhari).
Imam Taqiyuddin An Nabhani menjelaskan kata malam berhujan (lailatin mathiiratin) dalam hadits tersebut dengan berkata,“Yang dimaksud dengan kata lailatin mathiiratin adalah bahwa waktunya adalah waktu hujan, bukan berarti hujan sedang turun pada saat takbiratul ihram.” (Ali Raghib, Ahkamus Sholah, hlm. 40-41).
Kesimpulannya, sholat jamak karena hujan boleh secara mutlak. Maksudnya, boleh untuk menjamak sholat zhuhur dan ashar, juga sholat maghrib dan isya`, boleh dilakukan secara jamak takdim atau jamak ta`khir, dan boleh pula dilakukan baik berjamaah di masjid maupun sendirian di rumah. Wallahu a’lam.
Yogyakarta, 24 Desember 2012
Muhammad Shiddiq Al Jawi
[www.al-khilafah.org]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar